Monday, August 6, 2007

Harmonisasi Hubungan Departemen Luar Negeri dan Lembaga Legislatif


Tidak ada negara yang dapat hidup sendiri (no state can live a life to itself alone), negara adalah anggota dari masyarakat negara – negara (a community of state) dan setiap negara terlibat dalam pola/hubungan internasional ( a network of international relationship)

(Harold J.Laski ;The State in Theory and practice; London 1934)

Pendahuluan

Keterasingan dalam komunitas internasional bukan menjadi pilihan politik negara – negara di dunia, karena eksistensi suatu negara akan tercipta melalui pengakuan terhadap suatu negara (recognition of state), tentunya pengakuan lahir melalui proses asimilasi politik yang berujung pada terciptanya hubungan kerja sama antar negara.

Mutlaknya hubungan antar negara dalam pergaulan dunia, akibat dari globalisasi dan kaburnya batas antar negara yang dikenal dengan bordeless state atau dengan kata lain, ditembusnya tapal batas antar negara sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan informasi yang menjadikan transparannya sisi – sisi internal suatu negara.

Hubungan antara negara dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan unit politik yang didefinisikan menurut teritorial, populasi dan otonomi pemerintah secara efektif mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan homogenitas etnis, negara menyediakan suatu dasar yurisdiksi politik dan hukum dalam bentuk kewarganegaraan [1].Sedangkan politik adalah suatu aspek dari lembaga manusia yang sangat aneka ragam [2].

Dalam konteks nasional, politik luar negeri diartikan sebagai kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam hubungan dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Di tataran aplikasi politik luar negeri secara riel dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pelaksana teknis dibebankan kepada Departemen Luar Negeri. Sama halnya dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang memberikan tanggung jawab untuk melaksanakan politik luar negerinya kepada Departemen Luar Negeri dan Dinas – dinas luar negeri.

Departemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya instrumen lembaga kekuasaan lainnya. Berangkat dari teori trias politikanya Montesqieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Khusus untuk Indonesia dalam penerapannya tidak murni melakukan pemisahan kekuasaan, akan tetapi menerapkan trias politika dengan prinsip (division of power) dalam artian hubungan antar kekuasaan negara tersebut tidak secara murni terpisah satu sama lain, namun pemisahan yang tetap memungkinkan korelasi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.

Strategis Peranan

Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam perdamain, politik, ekonomi, kebudayaan, hankam dan sebagainya sebagaimana termaktub pada konstitusi negara. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri pada Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1966 yang menyatakan “ bahwa dalam bidang hubungan luar negeri Pemerintah Indonesia akan terus menjalankan politik non alignment yang tradisonal; salah satu politik bebas aktif dan politik non alignment bertujuan mengurangi ketegangan regional dan dunia (untuk mendirikan perdamaian)” [3].

Besarnya tujuan yang ingin dicapai dari politik luar negeri, semakin menunjukkan beratnya tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini Departemen Luar Negeri, karena citra Indonesia dimata internasional akan dapat diukur dari sejauhmana Departemen Luar Negeri dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang dihargai dan dihormati kedaulatannya oleh bangsa –bangsa lain di Dunia. Atau sejauhmana diplomasi total Deplu yang didukung oleh stakeholder baik itu dalam negeri maupun luar negeri terwujud dengan baik.

Pellibatan stakeholder sangat mendorong lahirnya kebijakan dalam negeri yang diharapkan selaras dengan kebijakan luar negeri. Pentingnya keselarasan tersebut sesuai dengan pidatonya Bung Hatta tanggal 15 Desember 1945 yang menyatakan “politik luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negeri ”.

Kebijakan dalam negeri dan luar negeri pembahasannya tidak dapat terlepas dari kajian lembaga yang berwenang mengeluarnya kebijakan. J. Goodnow menyebutkan fungsi politik sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan pembuatan kebijaksanaan atau perumusan pernyataan keinginan negara [4]. Khususnya lembaga pengambil kebijakan yakni Depertemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang menjadi representasi dari rakyat selaku pemegang kedaulatan negara.

Fungsi Departemen Luar Negeri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 salah satunya adalah untuk perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang politik dan hubungan luar negeri. Sedangkan legislatif sendiri diberi kewenangan untuk bersama – sama dengan Presiden membentuk Undang – undang dibekali dengan hak untuk meminta keterangan presiden, mengadakan penyelidikan yang diatur lebih jauh pada UU No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Perumusan kebijakan yang diemban legislatif berbeda dengan perumusan kebijakan yang diemban oleh eksekutif. Kebijakan lembaga legislatif terkait dengan regulasi dalam bentuk Undang - undang, sedangkan Departemen Luar Negeri kebijakan yang dikeluarkannya adalah kebijakan yang terkait dengan program atau kebijakan Pemerintah.

Upaya Harmonisasi Hubungan

Pembangunan politik luar negeri Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, jika segenap elemen – elemen terkait tidak bekerja sama untuk saling mendukung pembangunan. Jika hal itu terjadi tidak hanya akan berdampak pada terhambatnya pembangunan politik luar negeri, namun juga akan berakibat penurunan citra bangsa Indonesia dimata dunia, akhinya dapat berujung pada “pelecehan” dari negara lain terhadap kedaulatan Indonesia dalam bentuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang dikuras kekayaannya guna mendukung pasokan ketersediaan bahan baku bagi negara lain, maupun dengan menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk tujuan ekonomi, atau barangkali menempatkan Indonesia menjadi negara “penyumbang suara” di level Internasional. Naif sekali kalau Indonesia tidak memiliki bargaining position dimata Internasional.

Keberanian dan keyakinan politik perlu menjadi semangat segenap elemen bangsa sehingga suasana demokrasi tidak justru menjadikan rusaknya tataran sosial masyarakat dan lunturnya kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan institusi, contoh kasus masih segar diingatan kita, ketika menghangatnya suhu politik dalam negeri yang diwarnai penentangan dari sejumlah kalangan maupun dari partai – partai di lembaga legislatif terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang memberikan persetujuan terhadap Resolusi PBB 1747 intinya meminta Iran menghentikan proyek uraniumnya.

Berkaca dari hal tersebut, maka agar Indonesia “punya gigi” dimata Internasional, maka pilihan kebijakan politik luar negeri, strategi dalam melaksanakan kebijakan, flexibelitas kebijakan atau kebijakan yang bersifat responsif terhadap pesatnya perubahan peta politik Internasional perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Semua itu akan dapat dijewantahkan dalam bentuk kebijakan jika kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang lahir dari peran serta segenap stakeholder negara.

Legislatif sebagai representasi rakyat juga dituntut menjadi lembaga yang memiliki kemampuan adaptif dan analisis yang kuat terhadap kebijakan Pemerintah termasuk terhadap kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan yang diemban legislatif. Kongkritnya kemampuan analisis dan respon terhadap persoalan internasional menjadi salah satu prasayarat yang mendorong lahirnya kebijakan nasional berkualitas.

Dalam hal menentukan sikap Indonesia dalam hal ratifikasi sejumlah konvensi Internasional, menjadi sesuatu yang perlu kajian menyeluruh dari lembaga legislatif dan tentunya Pemerintah (Deplu) memegang peranan besar untuk mensuport dan memasok informasi dan program yang mampu meyakinkan legislatif terhadap perlunya atau tidaknya negara Indonesia meratifikasi dan mengeluarkan peraturan perundang - undangan nasional.

Kebijakan politik luar negeri tidak hanya kebijakan yang diharapkan didukung oleh masyarakat, namun keterlibatan masyarakat diharapkan akan dapat melahirkan dan mendukung kebijakan yang berkualitas. Kebijakan yang berkualitas serta mendapat dukungan masyarakat akan lahir melalui upaya harmonisasi hubungan antara departemen luar negeri dengan legislatif. Hal itu dapat dilakukan melalui upaya : Pertama Peningkatan kualitas sumber daya manusia (Deplu maupun legislatif), hal tersebut diperlukan karena kebijakan yang berkualitas akan dapat dilahirkan dari sumber daya manusia yang berkualitas. Deplu melalui pertimbangan politis yang diajukan Deplu ke legislatif dan legislatif melalui keputusan atau pilihan kebijakan yang dihasilkan diharapkan sama- sama saling mendukung. Kedua Sistem manajemen Interaksi antara lembaga, menjadi sesuatu yang mesti mendapat porsi perhatian besar dari negara, karena ketimpangan dan ketidakselarasan kebijakan muncul disebabkan karena tidak adanya standar atau sistem manajemen interaksi antar pembuat kebijakan yang berujung pada mispersepsi. Ketiga Tanggap terhadap perubahan suhu politik internasional, hal tersebut diperlukan karena, jika kebijakan yang dirumuskan adalah kebijakan yang tidak flexible, maka akan berakibat tertinggalnya negara Indonesia dalam pergaulan dunia. Keempat peran aktif masyarakat memonitor kebijakan menjadi sesuatu yang tidak dapat dianggap sepele.

Penutup

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi pilihan politik yang memiliki tujuan besar dan harapan besar untuk kemajuan negara. Rentannya konflik antar negara dalam hubungan internasional menuntut Indonesia memperkuat kedaulatan dan meningkatkan citra negara dimata bangsa – bangsa di dunia, sehingga Indonesia mampu menjadi negara yang berperan aktif sebagai subjek dalam pergaulan internasional yang dihargai kedaulatannya oleh negara lain.

Oleh karenanya, pencitraan dan penghargaan akan terwujud melalui upaya kebijakan dan pilihan politk yang kuat dan berkualitas serta mendapat dukungan dari segenap stakeholder dalam negeri maupun luar negeri. Maka lembaga perumus kebijakan ataupun lembaga pengawas kebijakan (Deplu dan legislatif) dituntut untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara lembaga.

Harmonisasi hubungan dapat tercipta melalui upaya penguatan sumber daya manusia masing – masing lembaga, perbaikan sistem informasi interaksi antara lembaga, sehingga tidak berakibat munculnya mispresepsi kebijakan, tanggap terhadap suhu politik dalam dan luar negeri, peran aktif masyarakat dalam memonitor kebijakan negara. Dengan adanya harmonisasi hubungan tersebut, diharapkan Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan menjadi negara yang tidak dipandang sebelah mata oleh negara – negara dalam pergaulan internasional.***.
Daftar Pustaka

- ClouloumbisTheodore A. – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66

- Dahl, Robert A, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976

- G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56

- Islamy M.Irfan, Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3

- Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005

- UUD 1945 amandemen ke 4

- Undang - Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Catatan Kaki
* Penulis adalah Asisten pada Komisi Ombudsman Nasional
[1] Theodore A. Clouloumbis – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66
[2] Robert A Dahl, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976
[3] G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56
[4] M.Irfan Islamy , Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3
Selengkapnya...

Penegakan Hukum sebagai Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan salah-satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum menurut Frederich Julius Stahl adalah pemenuhan hak-hak dasar warga (basic right/fundamental right) berupa perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan Instrumen pokok dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar warga tersebut adalah Kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana halnya yang tertuang pada Pasal 24 UUD 1945.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan pondasi utama dalam kehidupan bernegara, guna terciptanya ketertiban dan ketentraman, sehingga tidak heran jika banyak negara di dunia menjadikan penegakan hukum sebagai prioritas kebijakan dan pembaharuan, termasuk Indonesia yang ditandai dengan mulai berbenah dan dilengkapinya segala bentuk infrastuktur lembaga-lembaga baik itu dalam lingkup kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun lembaga-lembaga pengawas independen yang bertugas melakukan pengawalan terhadap terealisasinya jaminan penegakan hukum.

Terwujudnya penegakan hukum berkolerasi dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dirumuskan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia dalam konteks nasional di Indonesia telah diatur secara tegas pada konstitusi negara, selain itu juga dituangkan pada Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta sejumlah peraturan perundang-udangan lainnya.

HAM di Indonesia
Harapan bersinerginya lembaga pengawasan dan institusi penegakan hukum, juga menuntut perlunya peningkatan kesadaran hukum kritis masyarakat termasuk partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, karena masyarakat punya peran signifikan dalam pembentukan budaya hukum.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemenuhan HAM terkait dengan berhasil tidaknya penegakan hukum. Permasalahannya, apakan pemenuhan HAM bagi tiap warga negara telah dijamin? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menjunjung tinggi HAM.

Ini dapat dibuktikan dalam beberapa prasasti sejarah dari kerajaan-kerajaan besar di Indonesia masa lalu. Dan sejarah bangsa kita telah menempatkan HAM dalam prasasti. Contoh, HAM di Sumatera Selatan telah dikenal sejak jaman Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra (600-1400M). Cita-cita negara Kebangsaan Indonesia pertama berbunyi, Marvuat Vanua Criwijaya Siddhayatra Subiksha, artinya, suatu cita-cita negara yang adil dan makmur (Kaelan, 2004).
Kerajaan Sriwijaya lebih menitikberatkan pada keadilan dan kemakmuran. Apabila dapat ditafsirkan, keadilan ini adalah hak sipil dan politik, sedangkan kemakmuran adalah hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain Sriwijaya, Raja Airlangga dan Raja Majapahit juga telah mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.

Di Sulawesi Selatan telah di kenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat. Antara lain dinyatakan dalam buku adat, Tomatindo di Lagana, bahwa apabila raja berselisih paham dengan Dewan adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila Dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memutuskan (http://www.komnasham.go.id/; Sejarah HAM Nasional).
Kerajaan Pagaruyuang di Sumatera Barat banyak melahirkan petatah petitih adat yang menggambarkan keseluruhan budi pekerti dak penghargaan terhadap hak asasi. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Sayangnya hal ini kurang begitu diperhatikan oleh para ahli hukum (ibid). Padahal jika ingin terus digali dan dikembangkan maka pemenuhan HAM di Indonesia akan lebih cepat terwujud. Mengingat pengalaman yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sudah sedemikian lama. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata, konsep HAM dari barat, HAM yang telah ada di Indonesia sejak jaman kerajaan justru lebih baik. Sebab HAM yang dibawa dari Barat sedikit banyaknya telah dipengaruhi budaya Barat yang mungkin tidak sejalan dengan budaya bangsa kita.

Saat ini perlindungan HAM sudah diatur dalam konstitusi yang sudah mengalami empat kali perubahan beserta Undang-undang tentang HAM. Namun persoalan pelanggaran HAM masih tetap terdengar. Paling tidak, faktor utama kenapa pemenuhan HAM di Indonesia tidak memadai adalah karena lemahnya penegakan hukum. Dimana hukum hanya diartikan apa yang tertulis dalam Undang-undang, tanpa melihat keadilan dan kemanfaatan. Akibatnya, nilai suatu keadilan akan menjadi di nomorduakan oleh adanya kepastian hukum yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

Keadaan ini juga semakin diperparah dengan pemahaman dari aparat penegak hukum itu sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, pemenuhan HAM akan semakin sulit.

Problem Penegakan Hukum
Jika pemenuhan HAM erat kaitannya dengan penegakan hukum, maka sama artinya apabila penegakan hukum gagal sudah barang tentu pemenuhan HAM tidak akan bisa terwujud. Dalam penegakan hukum ada juga terdapat banyak faktor yang sangat berpengaruh, salah satunya adalah aparat penegak hukumnya itu sendiri. Dimana aparat penegak hukum merupakan penyelenggara negara yang bertugas melindungi dan memberikan jaminan HAM kepada warga masyarakat.

Menyorot lebih jauh aparat penegak hukum beserta lembaganya yang fungsinya dalam penegakan hukum, maka institusi Kepolisian menjadi gerbang utama penegakan hukum yang bernaung di bawah payung hukum Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya tersebut, maka Kepolisian diprasyaratkan agar menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat yang menjadikan Kepolisian sebagai intitusi penegakan hukum sering kali merasa apatis dengan kinerja apartur lembaga tersebut, karena memang dalam pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan yang dijalankan Kepolisian, tidak jarang bersikap kurang profesional. Sebagai misal sikap kurang professionalnya aparat kepolisian umunya adalah dibiarkannya laporan masyarakat berlarut-larut tidak segera ditindaklanjuti (undue delay). Selain itu, penangkapan dan penahanan tanpa alasan karena tidak didukung syarat formal berupa surat perintah penangkapan atau surat perintah penahanan yang jelas, penahanan yang melampaui batas batas waktu tanpa ada surat keterangan kepada pihak keluarga, termasuk juga menyangkut perlindungan saksi dan korban.

Hal yang hampir samapun seringkali dijumpai pada proses penyelesaian perkara ditahap penuntutan oleh pihak Kejaksaan, misalnya ada penuntut umum yang terlambat mengajukan upaya hukum sehingga berakibat merugikan korban, keterlambatan dalam memperpanjang atau menghentikan status penahanan dari tersangka berakibat ketidakjelasan dan terlanggarnya hak asasi Tersangka, selain itu juga ditemui tindakan Penuntut Umum yang hadir bergantian dalam persidangan dan tanpa didukung oleh koordinasi sehingga berakibat tidak berjalannya persidangan dan terpenuhinya dengan baik hak- hak para pihak termasuk Saksi, Korban maupun Tersangka atau Terdakwa.

Menyadari pentingnya keterangan Saksi dan Korban dalam penyelesaian suatu tindak pidana serta semakin banyaknya intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh Saksi maupun Korban bilamana hendak mencari keadilan, maka kemudian setelah melalui proses cukup panjang disahkanlah UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun tergolong baru dan belum terbentuknya lembaga pelaksanaan ketentuan ini, namun harapan agar keadilan tercapai dan kesulitan yang dialami oleh masyarakat sebagai Saksi dan Korban dapat diminimalisir dan dihapuskan.

Insitusi berikutnya yang menjadi pilar terpenting dan sangat menentukan dalam penegakan hukum adalah lembaga peradilan yang pada tahun 2004 telah dilakukan penyeragaman naungan instisusi Peradilan dari Kementian Kemakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, hal tersebut juga diikuti dengan revisi peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Berbicara tentang peradilan, tidak terlepas dari kepemimpinan dan menajemen lembaga peradilan, kinerja dan integritas Hakim, Panitera dan unsur-unsur pejabat di peradilan itu sendiri, prosedur penyelesaian perkara serta putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan termasuk eksekusi terhadap putusan.

Realitas di lapangan menunjukkan masih dominannya tindakan-tindakan yang tidak sebagaimana mestinya seperti, mulai dari pemeriksaan perkara yang memakan waktu lama, Hakim yang mempunyai hubungan darah atau semenda dengan Terdakwa atau Korban namun tidak mengundurkan diri dan justru berprilaku memihak dalam persidangan, akta pemberitahuan putusan yang terlambat atau tidak diserahkan kepada Jaksa maupun Tersangka, selain itu juga ditemui kesalahan ketik isi putusan sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum dari para pencari keadilan.

Pengawasan (Terhadap HAM)

Mahkamah Agung sebagai amanat Pasal 24 UUD 1945 merupakan pemegang Kekuasan Kehakiman, yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan, sebagai bentuk pengawasan internal institusi peradilan. Namun dengan semakin kompleknya problem penegakan hukum dan untuk meningkatkan check and balances, maka semua pihak merasa perlu dilakukan perbaikan dalam segala bidang mencakup internal maupun eksternal lembaga peradilan tersebut.

Maka, selain pembenahan payung hukum juga telah dilakukan upaya menggiatkan dan menguatkan institusi pengawas eksternal diantaranya, dikenal dengan Komisi Kepolisian yang hadir sebagai amanat dari UU No.2 tahun 2004 tentang Kepolisian, selain itu guna pengawasan Kejaksaan juga telah terbentuk Komisi Kejaksaan yang mengacu pada amanat UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terakhir untuk pengawasan peradilan dikenal dengan Komisi Yudisial adalah realisasi dari Pasal 24 B UUD 1945. Sedangkan berkaitan dengan administrasi dan pelayanan pubik yang dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara untuk mengawasinya maka telah pula dibentuk Komisi Ombudsman Nasional yang berada di bawah payung hukum Keputusan Presiden No 44 Tahun 2000. Pada dasarnya semua lembaga non-struktural yang disebut di atas, selain mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, juga memiliki kesamaan adalah menjamin pemenuhan HAM bagi masyarakat.

Adapun Komisi Ombudsman Nasional merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparat negara kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud mencakup aparat yang berada di pusat dan di daerah termasuk Peradilan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Tujuan didirikannya Komisi Ombudsman Nasional selain untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan di daerah, membantu menciptakan dan meningkatkan upaya pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, KKN, meningkatkan budaya hukum nasional adalah untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan publik di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang semakin baik.

Pengawasan yang dilakukan Komisi Ombudsman Nasional terhadap pelayanan publik adalah untuk menjamin masyarakat memperoleh pelayanan publik yang baik dan berkualitas, karena pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan “ negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Muatan konstitusi tersebut menegaskan bahwa pelayanan publik (yang baik) merupakan hak dasar atau hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam konteks Hak Asasi Manusia, pelayanan publik merupakan HAM di bidang ekonomi, social dan budaya yang merupakan HAM yang tidak terpisahkan dari HAM yang lain yakni bidang sipil dan politik, karena itulah, maka merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan publik yang baik.
Dibandingkan hak sipil dan politik, HAM dibidang ekonomi, social dan budaya cenderung terabaikan. Namun bukan berarti hak dibidang ekonomi, social dan budaya tidak lantas dipenuhi, akan menjadi timpang tentunya apabila hak-hak tersebut tidak dapat tercapai. Harapannya, selain mememuhi HAM dibidang sipil dan politik, HAM di bidang ekonomi, social dan budaya juga sangat perlu diperhatikan.

Penutup
Dengan begitu signifikannya urgensi penegakan hukum, maka pembenahan system dan bersinerginya segenap elemen, baik itu kemauan baik (good will) aparat penegak hukum, serta kesadaran kritis masyarakat sangat diperlukan demi terciptanya keseimbangan dan kepastian hukum dalam kerangka pemenuhan Hak Asasi Manusia sehingga praktek - praktek pelanggaran HAM dalam segala aspek kehidupan akan dapat terhindarkan, yang berujung pada terwujudnya keadilan dan terciptanya budaya taat hukum dalam kehidupan bernegara. Semoga.

** Selengkapnya...

Komitmen Pelayanan Publik KPUD DKI

Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta menjadi Pemilihan Kepala Daerah yang menarik dan menyita perhatian publik, tidak hanya dari warga DKI Jakarta namun juga masyarakat Indonesia secara luas. Meski untuk tingkat Propinsipun, masing - masing daerah bahkan telah lebih dahulu mengikuti pesta demokrasi yang serupa.

Sekilas, DKI Jakarta tidak berbeda dengan Propinsi – propinsi lainnya di tanah air. Namun untuk urusan Pemilihan Kepala Daerah, ternyata DKI Jakarta begitu spesifik dan menarik untuk dilirik, karena selain DKI Jakarta sebagai Propinsi primadona, tujuan warga yang berharap memperoleh penghidupan layak, juga terkait dengan kompleksitas persoalan yang dihadapinya, sekaligus merupakan Propinsi yang menjadi Ibu Kota Negara otomatis dekat dengan pemegang kekuasan nasional.

Tak berlebihan kalau Pilkada DKI diibaratkan sebagai Pilres mini. Apalagi DPR telah melakukan pengesahan UU DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara RI pada tanggal 17 Juli 2007. Otomatis payung hukum PILKADA DKI diatur di bawah UU DKI Jakarta, meski harus disusul dengan peraturan perundang- undangan lainnya.

PILKADA DKI Jakarta dari sisi proses, pada prinsipnya sama dengan PILKADA lainnya yang telah atau akan digelar disejumlah Propinsi di Indonesia. Lembaga pelaksana pemilihan atau dikenal dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menjadi penyelenggara yang disibukkan dengan agenda besar ini. Ditandai dengan berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut peristiwa besar tersebut, seperti agenda jalan bersama sosialisasi PILKADA yang melibatkan ribuan orang, termasuk juga penandatanganan nota kesepahaman KPUD dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan para calon.

Kompleksitas Persoalan

Dalam persiapannya, persoalan yang hampir samapun terjadi juga di DKI. Ada beberapa persoalan yang mesti diantisipasi, yakni pertama, masa kampanye PILKADA, seperti jauh hari sebelum ditetapkan pasangan calon dan ditabuhnya gendrang pertanda dimulainya masa kampanye, ternyata atribut – atribut liarpun telah bergentayangan disejumlah tempat strategis.

Meski telah ada penertiban dan penurunan atribut, tetapi tetap saja pemandangan yang sama terjadi. Tak jelas kesulitan dalam penertiban tersebut, apakah karena banyaknya jumlah atribut sehingga menyulitkan petugas untuk membersihkan ??? Atau barangkali itu bagian dari sosialisasi PILKADA dari calon atau penyelenggara sendiri.

Lucunya, justru terjadi pembedaan persepsi terkait dengan sosialisasi sebelum masa kampanye, antara KPUD selaku pelaksana PILKADA dengan Panitia Pengawas (PANWAS) selaku pengawas pelaksanaan PILKADA, KPUD mengizinkan karena dianggap bagian dari sosialisasi. Sedangkan PANWAS melarang hal tersebut karena belum masa kampanye sehingga harus dihentikan.

Kedua, Media kampanye. Dalam pemamfaatan media kampanye, ternyata tidak hanya digunakan oleh para calon atau KPUD untuk sosialisasi PILKADA. Akan tetapi juga menjadi media bagi masyarakat atau oknum atau pihak – pihak yang apatis dengan Pilpres mini tersebut. Terbukti disejumlah tempat di DKI secara terang- terangan ditemukan media kampanye Golput, sebagai bentuk himbauan moral agar masyarakat tidak menggunakan hak pilih. Tentunya memperhangat suasana Ibu Kota sekaligus memusingkan KPUD dan Panwaslu termasuk pihak – pihak terkait lainnya, tak terkecuali para calon tentunya.

Ketiga persoalan pendataan pemilih. Berdasarkan pendataan Dinas Pendataan Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta hingga April 2007 jumlah penduduk ayng telah terdata berjumlah 7.546.568 orang.. Padahal secara riel jumlah penduduk yang besar dengan skala pertumbuhan yang pesat setiap tahun begitu dapat dirasakan. Hal tersebut terjadi karena DKI menjadi tempat yang didambakan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Akibatnya tak jarang masyarakat yang sebelumnya menjadi penduduk suatu Propinsi tertentu, nekat pindah ke Jakarta walaupun tanpa ada kejelasan sumber penghidupan yang tetap. Dengan kata lain Jakarta telah didiami oleh sekian banyak penduduk pendatang. Barangkalipun telah menjadi warga yang berhak memilih pemimpin daerah ini.

Komposisi penduduk dan strategisnya peran Jakarta, tentunya menjadi kajian dan perhatian KPUD dalam mempersiapkan pemilihan Kepala Daerah untuk wilayah DKI. Apalagi didukung dengan anggaran sebesar 124 Milyar untuk pelaksanaan PILKADA DKI 2007 dengan jumlah 5.725..767 hak pilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap.

Hasil pendataan pemilih juga telah menimbulkan reaksi yang beragam dari sejumlah kalangan bahkan suhu politik semakin memanas mulai dengan adanya isu anak di bawah umur yang didaftar, terdaftarnya orang yang telah meninggal, bahkan terjadinya reaksi langsung warga terkait dengan Daftar Pemilih Tetap sampai akhirnya berujung pada pelaporan pencemaran nama baik terhadap salah seorang staf KPUD.

Pelayanan Publik

Sebagai penyelenggara negara dalam pelaksanaan PILKADA, maka KPUD memiliki peran yang signifikan dalam pemenuhan hak warga yakni pemenuhan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih sebagaimana diamanatkan Konstitusi negara, selain itu hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Deklarasi Universal HAM 1948, Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak politik warga akan dapat terpenuhi dengan baik jika negara dengan segenap institusi yang ada dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik. Begitupun halnya Dalam konteks PILKADA, masyarakat mempunyai hak untuk dipilih dan memilih kepala daerahnya. Sedangkan disisi lain negara wajib menyediakan infrastruktur agar hak tersebut dapat dijamin pelaksanaannya.

KPUD sebagai institusi yang bertanggung jawab kepada publik, sebagaimana putusan Yudisial Review Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan Pasal 57 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pastinya mengemban kewajiban publik yang tidak ringan, apalagi ditinjau dari sisi range waktu yang terbatas diberikan peraturan perundang - undangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Namun disisi lain justru posisi tawar masyarakat selaku pemegang mandat menjadi semakin signifikan dalam rangka proses demokratisasi di Indonesia.

Sehubungan dengan fungsi dan kewenangan strategis yang dimiliki KPUD, menjadikan KPUD sebagai pusat perhatian dan barangkalipun dapat menjadi sumber dan sasaran kekecewaan publik, jika KPUD dianggap tidak mampu memuaskan pihak yang dilayaninya (dalam hal ini masyarakat yang memiliki hak pilih).

Peran sebagai pelayan publik yang diemban KPUD mengharuskan KPUD dapat melaksanakan tugas dengan tepat disaat yang tepat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dijalankan perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik (Ratminto & Atik Septi Winarsih ;2005 ; 21).

PILKADA DKI diharapkan mencerminkan proses demokrasi yang Luber dan Jurdil sehingga akan menjadi percontohan bagi Propinsi lain di tanah air. KPUD DKI mau tak mau dituntut bekerja ekstra dalam penyelenggaraannya.

Kompleksitas persoalan yang berujung kelalaian administrasi (maladministrasi) dalam penyelenggaraan PILKADA tidak bisa dijadikan alasan pembenar, karena PILKADA DKI selain ditopang dana yang besar serta merupakan tempat berkumpulnya orang – orang cerdas dan para pakar yang siap menawarkan analisa kritis dan terobosan – terobosan pemikiran, tak terkecuali penggangguran yang siap diberi pekerjaan termasuk mengawal dan memantau pelaksanaan PILKADA tersebut.

Warga DKI khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan menjadi pengawal yang siap menyorot setiap lini pelayanan yang diberikan KPUD, agar hak- hak mereka dapat terpenuhi dengan baik. Sedangkan KPUD DKI sendiri ditantang untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pemegang mandat, karena pemberian pelayanan publik yang baik adalah wujud komitmen KPUD dalam menjalankan tugas dan perannya. Sehingga seberapapun panas suhu politik, akan dapat teratasi dengan baik. ***

** Asisten Pada Komisi Ombudsman Nasional Selengkapnya...

Tuesday, July 17, 2007

LEGALISASI HADIAH UNTUK HAKIM

Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah lengkap dengan aneka budaya bangsa dan penduduk yang ramah tamah juga suka memberi, semua itu merupakan bagian dari deskripsi tentang bangsa ini dan menjadi sesuatu yang mesti dibanggakan oleh putera-puteri Indonesia. Namun bagaimana kalau prilaku suka memberi menjadi budaya yang digalakkan untuk para hakim? Mungkin sebuah jawaban sederhana yang muncul sebagai jawaban adalah hakim juga manusia. Akan tetapi apakah persoalan pemberian hadiah bagi para hakim, cukup menjadi wacana yang mampu diselesaikan dengan jawaban klise nan manusiawi ? sebuah pertanyaan yang mesti diulas panjang lebar.Ternyata tidak sesederhana itu, karena hakim tidak hanya sekedar manusia biasa, hakim adalah jabatan yang mulia dan menjadi salah satu pilar negara demokrasi disamping legislatif dan eksekutif, yang pengaturannya langsung diletakkan dalam konsitusi negara.

Budaya orang-orang yang yang suka memberi jika dipertemukan dengan orang-orang yang tidak bisa menolak, adalah perpaduan prilaku yang menunjukkan kecocokan nan apik. Akan tetapi hal ini merupakan sesuatu yang berbahaya jika dibalik perilaku tersebut mengandung motif tertentu dan ditujukan pada orang atau jabatan tertentu, mesti tidak ada alasan bagi para hakim untuk menolak sebuah pemberiah atau hadiah namun alasan untuk menerimapun juga sebenarnya tidak ada.

Naifnya, sekarang persoalan tersebut tidak hanya menjadi bagian yang bertentangan secara logika dan hati nurani, akan menjadi sesuatu yang tidak dilarang bahkan justru “dilegalkan” oleh sebuah aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi bernama Pedoman Prilaku Hakim (PPH) baru tanggal 30 Mei 2006 yang lalu PPH itu terbentuk, dan diakui oleh Ketua MA, Bagir Manan sebagai kode etik perilaku hakim.

Minimnya Kesejahteraan Hakim

Kalau diperhatikan konsideran menimbang sebagai landasan sosiologis yang melatarbelakangi lahirnya PPH ini, pada salah satu bagiannya mencoba memberikan justifikasi dengan berlindung dibalik alasan kesejahteraan hakim yang ”minim ”. Seharusnya hal tersebut tidak dijadikan toleransi bagi para hakim untuk menerima hadiah walaupun tergolong ”kecil”.
Masalah kesejahteraan hakim merupakan wacana yang telah lama dimunculkan oleh kalangan peradilan, namun tidak ada tindak lanjut dari penyelesaiannya, hingga munculnya PPH yang melegalkan hadiah. Alasan minimnya kesejahteraan hakim kembali mengemuka dan menjadi perhatian berbagai kalangan termasuk para pengambil kebijakan. Menjadi logis apabila ada sebagian orang berkesimpulan bahwa PPH sengaja dikeluarkan agar ada perhatian dan kemauan politik dari pengambil kebijakan untuk kembali meningkatkan kesejahteraan/gaji bagi para hakim.

Berapa sih gaji hakim ? pertanyaan itu akan muncul dibenak kita, ketika topik kesejahteraan masih dipersoalkan oleh para hakim. Jika kesejahteraan bertolak ukur pada kecukupan materi atau pada perbandingan jumlah suap yang akan ”menggoda” hakim dalam menjalankan tugasnya, maka sebesar apapun gaji yang diterima tidak akan pernah cukup dan membuat hakim sejahtera. Cukup atau tidak cukupnya gaji hakim akan berkorelasi dengan tingkat kepuasan, padahal manusia tidak akan pernah merasa puas-puasnya. Semakin banyak pendapatan maka akan semakin banyak kebutuhan. Oleh karena itu kalau yang dijadikan parameter adalah kebutuhan maka kita akan dapat mengukur tingkat kecukupan pendapatan hakim secara matematis, ambil contoh penghitungan besarnya Upah Minimum Regional yang berlandaskan pada tingkat kebutuhan bukan pada tingkat kepuasan, sehingga tidak wajar jika kesejahteraan masih menjadi persoalan.

Kecendrungan Perlakuan
Pedoman setebal 32 halaman memuat 10 Point, mesti dinilai beberapa kalangan telah mengacu pada Bangalore Principles of Judicial Conduct yakni prinsip-prinsip yang disusun oleh para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim.

Mengenai ketentuan penerimaan hadiah konvensi internasional tersebut melarang hakim menerima hadiah dalam bentuk apapun, akan tetapi, ini berbeda dengan PPH yang ada di Indonesia karena adanya pengecualian, terutama mengenai muatan toleransi bagi para hakim dalam menerima imbalan atau hadiah pada salah satu bagiannya menyebutkan larangan bagi hakim dan sanak kerabatnya menerima hadiah jika hadiah itu diberikan dengan tujuan mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilan, kecuali jika hadiah diberikan pada pada kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun dan sebagainya. Hadiah ditentukan dalam jumlah yang wajar.

Selain itu toleransi juga diberikan terhadap pemberian atau kenang-kenangan dari pemerintah daerah, Apabila seorang hakim karena suatu hal tetap menerima fasilitas dari Pemda, maka ia tidak boleh mengadili perkara di mana pemda atau pihak-pihak yang terkait dengan pemda berperkara di pengadilan.

Mencermati muatan ketentuan tersebut, terlihat ada semangat untuk ”memanusiakan” hakim, dalam artian hakim selain jabatan atau profesi juga masyarakat biasa yang sewajarnya juga mendapat pemberian-pemberian sebagaimana kultur sosial yang ada. Akan tetapi jika hal tersebut telah dirumuskan dalam sebuah Kode Etik, maka yang melekat adalah profesi atau jabatan sehingga kewajaran tidak hanya dilihat dari sudut pandang manusiawi semata namun pertimbangan implikasi yuridis dan sosiologis mesti jadi perhatian.

Jika dilihat realitas di lapangan maka yang ada, justru munculnya kecendrungan perlakuan istimewa untuk orang atau jabatan tertentu. Misalnya dalam pemberian hadiah untuk orang biasa akan berbeda penentuan besar nilainya untuk orang ”luar biasa”. Sehingga mestipun sekotak kue, sehelai kain batik yang diberikan dari segi bentuk memang sama akan tetapi berbeda dari segi nilai materilnya. Apalagi jika itu diberikan untuk orang yang memegang peran maha penting seperti hakim. Oleh karena itu dengan membuka peluang, akan sangat memupuk kecendrungan perlakuan istimewa untuk melancarkan keinginan tertentu dari pihak-pihak yang mempunyai motif tertentu pula.

Implikasi yang ditimbulkan
Pada prinsipnya perlakuan hakim memang perlu diatur secara khusus, namun pengecualian yang menunjukkan Privilage (keistimewaan khusus) bagi hakim itu perlu ditiadakan, apabila tidak maka pencantuman pengecualian tersebut akan menimbulkan banyak ekses diantaranya, dengan menerima pemberian walaupun kecil berarti telah memupuk sebuah prilaku koruptif menjadi kebiasaan yang akhirnya membudaya, apalagi jika dikaitkan dengan semangat penegakan hukum dan peningkatan citra peradilan, tentunya dengan pemberian hadiah untuk para hakim secara langsung ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap independensi hakim dalam penyelesaian suatu perkara diperadilan sehingga cita–cita untuk mewujudkan equality before the law (persamaan di depan hukum) menjadi asa yang tak pasti.

Selain itu dengan mentolerir pemberian hadiah, seakan-akan menafikan bahwa tanpa hadiah sekalipun, kalau mentalitas hakim telah dipengaruhi maka akan berpengaruh pada prilakunya dalam arti, misalnya cukup dengan jasa baik atau balas budi maka hakim akan terpengaruh apalagi jika itu telah disertai oleh pemberian berwujud materil.
Seharusnya Dilarang.
Persoalan pemberian hadiah harusnya dilarang tanpa pengecualian apapun. Para hakim harus mempunyai komitmen bersama untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan tempat mengadunya para pihak-pihak yang rasa keadilannya “terpasung”.

Untuk itu karena persoalan pemberian yang dilegalkan, maka solusi terbaik nya dengan melakukan revisi terhadap aturan tersebut. Selain itu perlu adanya kemauan semua pihak, baik itu masyarakat dalam bentuk tidak membiasakan untuk memberi dan gencar melakukan pengawasan terhadap institusi peradilan. Para wakil rakyat perlu mendesak untuk melakukan revisi PPH, serta mengkaji ulang proses recruitmen hakim. Peningkatan integritas dan kepribadian hakim perlu menjadi perhatian, termasuk menjadi tanggung jawab keluarga dan pimpinan-pimpinan peradilan. Sehingga dengan kemauan semua pihak diharapkan peradilan akan mampu mengayomi dan memberi putusan yang adil ***


Selengkapnya...

Monday, January 8, 2007

Galeri Foto


Gajah aja bisa tertib dan ditertibkan......
Selengkapnya...

Sorot Isu

Menyoal, Usul Perubahan Konstitusi

Perubahan konstitusi merupakan hal yang tidak asing lagi, kalau sebelumnya merupakan “kegiatan terlarang” untuk diusulkan apalagi dilakukan, namun pasca reformasi berbagai celah kekurangan konstitusi perlahan mulai diperbaiki melalui mekanisme hukum yang dikenal dengan amandemen, sehingga konstitusi yang kita kenal hari ini merupakan hasil amandemen ke-empat.

Kembali perubahan konstitusi menjadi isu hangat untuk dibicarakan setelah munculnya usul dari 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah mengenai perlunya perubahan pada Pasal 22 UUD 1945 melalui surat yang ditandatangani oleh Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita dengan Nomor DPD/HM.310/295/2006 ditujukan kepada Ketua MPR tertanggal 8 Juni 2006 yang lalu.
Hal tersebut ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan terutama kalangan DPR yang merupakan rekan kerja DPD sendiri, ada yang menilai positif dan ada yang justru sebaliknya mempertanyakan eksistensi dari DPD sendiri bahkan komentar yang bermuatan kritik membangun atas kinerja DPD justru sebaliknya dipertanyakan. Hal yang lumrah sebenarnya, karena memang eksistensi DPD belum banyak dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya di daerah yang mereka wakili.

Namun kalau dicermati lebih jauh, usul perubahan konstitusi pada dasarnya tidak dilarang bahkan pada Pasal 37 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa “putusan untuk mengubah Pasal-pasal Undang-undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR “.Terkait dengan inisiatif atau siapa yang mengajukan perubahan konstitusi tenyata tidak ada batasan tegas dalam UUD, dalam artian perubahan itu dapat saja diusulkan oleh anggota DPR, DPD, organisasi ataupun perorangan, namun catatan yang mesti diperhatikan bahwa usul perubahan tersebut akan menjadi agenda resmi jika telah disetujui oleh anggota MPR.

Mencermati persoalan pengusulan amandemen konstitusi sesuatu yang sebenarnya mesti mendapat apresiasi lebih karena memang hukum tidak selalu sebanding dengan perkembangan masyarakat hingga perlu selalu dievaluasi dan dikritisi, namun usulan tersebut menjadi semakin kompleks ketika itu muncul dari sebuah fostur lembaga negara bernama DPD yang sejak awal pembentukan rumusannya dalam amandemen UUD, telah dibangun atas landasan yang tidak kuat, sebut saja dari komposisi bahwa jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, hal ini akan menimbulkan konsekuensi logis jika terjadi penentuan jumlah suara melalui voting maka otomatis DPD akan kalah dengan sendirinya, atau menggambarkan bahwa mesti DPD dan DPR punya kedudukan sederajat dalam forum MPR namun DPR tetaplah lebih kuat.

Ada apa dengan Pasal 22 D UUD 1945 ?
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga baru yang diperkenalkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945, diatur secara khusus dalam konstitusi pada Pasal 22 UUD 1945 yang lebih jauh dalam pengaturannya melalui UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Kenapa Pasal 22 UUD 1945 mesti diubah, pertanyaan itu akan muncul dalam benak kita, ketika persoalan pengusulan perubahan menjadi isu kontraproduktif untuk DPD, ternyata pada pasal tersebut mengatur hal yang begitu berarti bagi DPD yakni tentang tugas, fungsi dan wewenang DPD, secara substansi pada pasal tersebut dijelaskan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama,terakhir DPD juga dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dana agama serta menyampaikan pengawasan keada DPR untuk ditindaklanjuti.

Setelah dilihat lebih jauh, kewenangan yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Hal ini menunjukkan adanya semangat birokratis pada rumusan tersebut, padahal DPD dan DPR mempunyai kedudukan yang setara namun untuk kewenangan dibidang legislasi (penyusunan undang-undang) tetap saja DPD harus melewati jenjang birokratis yakni persetujuan DPR, sehingga keberhasilan agenda DPD akan sangat ditentukan oleh respon yang diberikan oleh anggota DPR.

Oleh karena itu amandemen konstitusi terkait dengan kewenangan DPD mesti diperkuat karena dari segi legitimasi DPD jauh lebih riel mewakili masyarakat karena proses pemilihannya merupakan representasi dari keinginan masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang mereka pilih sendiri, selain itu dengan kewenangan “setengah hati” yang dimilikinya DPD maka gerakan DPD mengalami kendala tersendiri. Oleh karena itu perubahan konstitusi memang menjadi bagian sentral yang akan menentukan “ nasib” DPD ke depan, karena tanpa adanya konsep yang jelas untuk lembaga negara ini, maka akan senantiasa membawa problem tersendiri bagi DPD dalam menjalankan kiprahnya apalagi dengan semakin kompleknya permasalahan di daerah.

Namun yang perlu dipertimbangkan dalam pengusulan antara lain pertama konsep pengusulan haruslah jelas, dan berdasarkan penelitian akurat yang sampai pada kesimpulan bahwa keterbatasan gerak yang dialami oleh DPD karena memang kecilnya kewenangan yang dimilikinya, kedua pilihan momentum yang tepat perlu menjadi perhatian serius bagi DPD di tengah banyaknya persoalan bangsa yang mesti mendapat perhatian yang lebih besar dan perlu penanganan serius ketiga dengan sistem yang ada DPD perlu mengatur strategi untuk meraup lebih besar dukungan anggota DPR dalam mendukung pengusulan amandemen keempat pihak DPR haruslah memandang usulan perubahan tersebut dengan lebih objektif tidak hanya dengan semangat melihat secara politisasi dan ego sektoral. Jika usulan perubahan tidak dipertimbangkan secara seksama oleh segenap elemen maka konstitusi yang ada akan selalu menjadi bagian yang siap “bongkar pasang” dari pihak-pihak yang kemudian “merasa kurang kewenangan”. Diharapkan ke depan konstitusi menjadi hukum dasar yang mampu menjawab kebutuhan riel warga negara dan tidak hanya menjadi kumpulan lembaran-lembaran energi yang mampu mensuplai kepentingan segelintir oknum-oknum tertentu. Semoga *** Selengkapnya...

Serpihan Mutiara

Ingatlah.....
" Kita nggak akan pernah tahu sejauh mana kita bisa terbangkalo kita tidak pernah membentangkan sayap tuk terbang "
( kutipan Andrie Wongso)
"Gagal dalam perencanaan adalah berencana untuk gagal"

"Kalo tidak bisa memaafkan berusahalah melupakan"
Selengkapnya...

Pantun

Wujud pelestarian karya lokal Selengkapnya...

Berhentilah Sejenak

Tunggu aja, renungan2 yang bakal menggugah hati dan perasaan Selengkapnya...

Kisah Kasih

Untuk Sementara file ini belum diisi ( masih digodok) Selengkapnya...

Sunday, January 7, 2007

Humoria Room

Salah Nyeletuk

Siang itu pasukan huru-hara sedang melaksanakan kegiatan baris berbaris, komandan pasukanpun mulai memberi perintah " dalam hitungan ketiga semua sudah harus dalam keadaan siap " demikian kata komandan tersebut sambil memeriksa satu persatu pasukannya.
Satu, dua, ....., tiba-tiba suara komandan terhenti pada hitungan kedua, melihat gelagat Anto salah seorang anggota pasukannya masih sibuk dengan kerapian pakaiannya, " Antoooo," siap pak " sahut Anto, apanya yang siap, dari tadi saya perhatikan kamu masih sibuk sendiri sementara teman-temanmu sudah siap, Komandan tersebut menimpali kata-kata Anto.
" Anto kamu ke depan dalam hitungan ketiga kamu telah harus lagi keliling lapangan, kalo dalam hitungan ketiga kamu tidak juga lari maka..... ( hitungannya saya ulang lagi) terdengar suara memotong kata-kata sang kamandan.

Dengan wajah merrah, sang komandan membalikkan badannya mencari sumber suara yang barusan nyeletuk dan memottong kata-katanya, ternyata seluruh mata sedang tertuju pada sosok pria berbadan kurus dan berkulit hitam pada barisan dua terakhir, tak ayal lagi, sang komandan langsung memerrintahkan anak buahnya tersebut lari keliling lapangan, tanpa perlu menghitung satu, dua , tiga guna menghindari celetukan lagi dari yang lain. dan si Anto senyum bercampur gembira karena ada yang menemaninya menjalani hukuman. Selengkapnya...

Goresan

Ibu, ijinkan aku mendo'akan agar ayah diberi Istri

Ibu, genap hampir sepuluh bulan kepergianmu,kadang aku begitu terharu mengenangkanmu ibusibungsu terlalu muda tuk kau tinggalkan,ia tak akan lagi merasakan enaknya masakanmu ibu, bahkan wisudapun nanti tanpa engkau disisinya, ibu.Tapi aku janji ibu, aku akan bantu dia segera tamat kuliah, aku ingin ia mendapatkan pekerjaan.dua tahun lagi bukan waktu yang lama, aku harus mempersiapkan materi untuk biaya kuliahnyaaku ingin disaat dia lulus dapat kerjaan baru aku memulai hidup berumah tangga.mesti aku mulai merasa sepi dalam kesendirian di negeri orang ibu.Tapi itulah arti sebuah pengorbanan dan aku yakin yang di atas akan memberi sesuatu kepada orang yg tepat dan pada saat yang tepat juga.

Ibu, kondisi ayah sekarang syukurlah sehat, meski tanpa anak-anak disisinya, tapi beliau sering ke tempatkakak nenggokin cucu katanya, dan aku juga sering nanya kabar ayah dan nenek meski itu juga lewat sms, kebiasaan ayah belum begitu jauh berubah, tapi satu hal yang aku tau ibu, ternyata ayah adalah seorang suami yang setia, hingga sekarang ia belum mendapatkan penggantimu ibu.

Tapi bu, engkau pasti tak ingin melihat ayah sedih, melihat ayah sendiri tanpa ada yang merawat jelang usia senjanya.Untuk itu ibu, setiap shalat aku selalu berdoa " ya Allah berikan istri tuk ayahk, istri yang bisa mengajak ayahku ke surga-Mu ibu".

Ibu, setiap kali aku shalat , aku selalu berdoa agar kau senantiasa dilapangkan disana, dan menjadisalah seorang dari ahli surganya.

ibu mudah-mudahan aku bertemu dengan seorang yang bisa menjadi imam bagi keluarga ku, mengajak aku ke surga Nya,amieen,
Tuhan titip ibuku...... Selengkapnya...

Curhat

Jeritan Hati Mantan Aktivis

Ketika Energi yang kupunya terasa sia-sia
Menjadikan aku bak seorang pujangga tanpa puisi, bak dokter tanpa diagnosa.Semua terasa tak berarti karna diri tak bisa memberi

Doc.Prib.20 Desember 2006-------Kepulan asap bernama polusi mulai mengusap wajahku yang lelah, plus antrian kendaraan yang menambah daftar sumpeknya kota metropolitan ini, ukh “ udah mulai gelap nich palagi kayaknya mo hujan bikin bete aja besok libur lagi ” begitu gerutuku dalam hati, sebuah kebiasan baru hasil dari sebuah proses asimilasi kebudayaan dan teritorial yang kujalani selama sekitar setahun belakangan.

Seperti biasa jadwal kerja yang teratur menjadikan hidupku terasa begitu statis, pemandangan dan persoalan wajib yang kuhadapi hari demi hari selalu sama, beberapa jenis koran yang menggodaku tuk membacanya, berkas laporan keluhan masyarakat yang mesti ku bikinan drafnya, lengkap dengan fasilitas telpon, dan internet,menjadikan aku terkadang menikmati dan terkadang membuatku kehilangan motivasi dan semangat yang berbuah kebosanan.

Sore ini begitu macet hingga aku punya waktu banyak tuk kembali mengenang masa 3 tahun lalu, yach hidup yang kujalani sekarang adalah wujud dari mimpiku tiga tahun lalu semasa kuliah, aku begitu bersemangat dan punya keinginan tuk berjuang dan menjalani hidup di ibu kota ini, dalam bayanganku terasa indah menjalani perjuangan hidup sendiri jauh dari keluarga dekat dengan sumber informasi dan terbuka lebar tuk menjadi sukses dan menjadi orang besar, namun setelah semuanya terjadi ternyata tak seindah yang dibayangkan atau barangkali aku sendiri yang menjadikan hidupku tak indah.

Setahun yang lalu, ketika aku masih bekerja di kotaku, aku punya agenda padat selain dikantor yang mesti hadir enam hari dalam seminggu dan sedikit waktu luang dengan beban kerja yang tergolong berat, maklum aku menangani administrasi sebuah media massa yang otomatis dikejar deadline, menjadikan aku begitu bersemangat karena sehabis dari kantor aku mesti ke kantor lain yang berfungsi sebagai sekretariat sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, tempat aku dan teman-temanku membantu para pencari keadilan yang mengalami benturan biaya dengan bekal gelar lulusan fakultas hukum dan sebagian kartu pengacara membuat kami saling beradu argumentasi dan berempati dengan pencari keadilan. Agenda rapat dan pertemuan kami atur sedemikian rupa hingga waktu malam yang mestinya kami gunakan tuk beristirahat dan meregangkan otak dan otot sehabis dari aktifitas dan kantor masing-masing,tapi justru kami gunakan tuk lebih mengasah otak bahkan tak jarang setiap pertemuan diwarnai perdebatan dan emosian akibat perbedaan persepsi dan pandangan topik pembicaraan,.

Aku begitu menikmati dinamikanya, tak pernah aku menghabiskan waktu tuk berdandan berjam-jam di depan kaca, seperti halnya kebiasaan wanita-wanita seusiaku, “jangankan luluran, bersihin wajah aja nggak”aku cukup menjadikan mandi sebagai prosesi wajib pembersihan, selain itu tuk mengikuti lagu terbaru, film terbaru, model baju terbaru, tidak menjadi perhatianku, aku begitu disibukkan dengan tugas wajib kantor dan perjuangan lsm, aku punya keinginan besar tuk menjadikan lsm kami, lsm yang besar dan mampu memberi kontribusi tuk masyarakat. Berbagai referensi aku cari, mulai dari bacaan tentang team building, manajement konflik dan sebagainya, ilmu wajib yang bakal aku terapkan di wadah perjuanganku bersama teman-teman., bahkan ketika kuputuskan tuk hijrah ke Ibu kota, aku membawa setumpuk mimpi dan keinginan, buatku buat keluarga, buat lsmku.

Sayang, mimpi dan keinginan yang kubawa hanya berbenturan dengan dinding-dinding dari bangunan megah yang menjadikan penghuninya betah tanpa harus melirik yang lain, akhirnya akupun menjalani hidup apa adanya statis tanpa dinamika, tanpa perlu mengorbankan waktu tidurku tuk memikirkan hal-hal besar kecuali hanya tuk menyaksikan tayangan televisi, dan mengunjungi mall atau sekedar berkumpul bersama teman-teman tuk makan bersama.

Aku begitu dimanjakan ibukota, aku punya banyak waktu tuk mengikuti model terbaru mulai sepatu sampai wik terbaru, perawatan wajah dan tubuh tak ketinggalan bereksperimen dengan jenis makanan yang belum kucicipi. Aku tak tau sampai kapan hidup akan ku jalani begini. ***







Selengkapnya...

Cerdik (Cerita Dikit)

Jangan pernah ucapkan cinta, sayang…..

Cinta memang tak ada logika, seperti itupun halnya yang dialami intan, gadis 25 tahun dengan seorang temannya, Ilham, persahabatan mereka telah terjalin sejak dua tahun terakhir, namun tiba-tiba, bak petir disiang bolong Ilham mengungkapkan perasaan sukanya kepada Intan, yang ternyata telah dipendamnya dua tahun yang lalu, awal dari perkenalan dan persahabatan mereka.


Apa??? Aku suka kamu ?, mata Intan melotot dan wajahnya yang bersemu merah tidak dapat disembunyikan dari kulit mukanya yang terang, ekspesi wajah tanpa perintah begitu bertindak serentak dengan gerakan bibirnya yang mengulang kembali kata-kata Ilham (teman dekatnya) itu. “ Masak sih, jangan becanda Am ( begitu pangilan akrab intan buat Ilham)”. demikian Intan menimpali ungkapan perasaan Ilham.

Tak mau kalah, Ilham justru malah memperbaiki posisi duduknya yang menunjukkan keseriusan luar biasa dan meminum sajian kantin sore itu, tempat biasa mereka makan bersama, jika diantara mereka ada masalah. “ Ntan, dulu aku berfikir, kita akan bisa berteman, dan aku akan bisa menghapus perasaanku padamu, tapi ternyata, nggak, ntan, aku nggak bisa, kebersamaan kita tidak hanya menjadikan persahabatan kita erat, tapi juga justru menjadikan rasa itu terpelihara dan terawat dihatiku, ntan, aku nggak bisa terus-terusan membohongi perasaanku, aku sungguh sayang kamu, lebih dari seorang teman ”. Itu ucapan Ilham yang memperkuat kata-kata singkatnya yang tadi diungkapkan pada Intan.

Intan, tertunduk seribu bahasa, seakan otaknya bekerja ekstra menyusun kata demi kata yang begitu tak teratur yang ada dibenaknya.”Am tolong kasih aku waktu” cuman itu yang keluar dari mulut Intan. Dengan penuh pengertian Ilhampun menganguk seraya berkata “ Ntan, apapun jawabanmu, akan kutunggu dan kuharap ini bukan akhir yang buruk tuk persahabatan kita, ya atau tidak bagiku tak menjadi soal, karena setidaknya aku dah berani jujur pada diriku dan pada orang yang kusayangi, dan yang pasti aku akan tetap menjadi temanmu, karena kamu adalah teman terbaik yang kupunya ”.

Percakapan sore itupun berakhir dengan seribu tanda tanya dan perasaan yang ada dikepala masing-masing dan suasana sore itu, menjadi sore yang berbeda dengan biasanya, kalo setiap habis jalan atau makan, dalam perjalanan pulang, mereka selalu bergurau mesti kadang diselingi cela dan tawa seakan diantara mereka bersaing menunjukkan yang satu lebih dari yang lain, tapi sore itu, tak ada yang bersuara, mereka sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

Begitupun dengan Ilham, ia tidak mau mengganggu Intan dengan percakapan atau pertanyaan-pertanyaannya yang pasti tidak akan menarik buat Intan, karena ia tahu betul karakter temannya yang satu ini, kalo dah diam pasti lagi serius mikirin sesuatu atau lagi capek atau belum terlalu kenal dan dekat, itu akan memperkuat image kalo Intan adalah sosok yang pendiam. Seperti halnya pertama kali mereka kenal, Intan begitu pendiem, dibanding teman-temannya yang lain, tapi seiring dengan berjalannya waktu, ternyata Intan sosok yang asyik diajak gobrol dan memang sosok pendengar yang baik.

Ternyata satu jam dalam perjalanan tak terasa hingga akhirnya mereka sampai pada perempatan jalan yang memisahkan arah tempat tinggal mereka, “ sampai besok ya (kata ilham) sembari melambaikan tangannya pada Intan yang berjalan ke jalan menuju rumahnya, “ ya ( sahut Intan singkat).

Kaki Intan berjalan mengikuti irama dan Intan sadar betul, kalo kakinya dan tubuhnya tidak menikmati perjalanan itu karena otaknya begitu sibuk memikirkan sesuatu,sesampainya dikamar ukuran tiga kali dua meter, perlahan Intan merebahkan tubuhnya di kasur dan membersihkan wajahnya dengan pembersih, rutinitas yang biasa dilakukan sehabis bepergian. Am, kau terlalu baik untuk ku, tapi sayang aku begitu menikmati dan bahagia menjadi teman terbaikmu, tak lebih Am, tak lebih dari itu. Andai kau tahu, kalo bagiku tak sulit tuk jatuh cinta, tapi waktu empat tahun telah cukup menempaku tuk memanage cinta dan mengatur rasa, rasa suka pada lawan jenis silih berganti kurasakan dan tak sulit juga bagiku membunuh perasaan itu dan menggantinya dengan perasaan sebagai seorang teman,aku bisa melakukannya Am (bukan karena aku nggak normal, bukan) karena memang aku ingin logika dan perasaanku seimbang, sebuah idealisme yang begitu kupegang walau kadang aku rasakan begitu berat mempertahankan.

Kalo kata orang pacar itu berawal dari temen, bagiku enggak Am, pacar ya pacar dan temen adalah temen. Aku paham betul rasa suka dan cinta itu nggak statis, ia perlu dijaga dan dipelihara, dan cara menjaga dan memliharanya hanya dengan dua jalan, pacaran atau menikah, dan aku nggak mau tuk pacaran dan belum siap tuk menikah.Andai aku tau kau akan mengatakan itu, mungkin aku akan memberitahumu “ Jangan pernah ucapkan cinta, sayang aku hanya ingin jadi teman baikmu, sayang aku seorang yang begitu meyakini kalo cinta itu tak abadi dan percaya kalo yang abadi hanyalah persahabatan “ itu alasanku melarangmu tuk mengutarakannya, tapi sayang, aku terlambat memberitahumu, hingga kau akhirnya mengungkapkan juga.

Serangkaian lamunan dikepala Intan, terputus karena suara ringtone handphonenya berbunyi dan tertulis “Deni memanggil”, “ya Den, ada apa? Intan menyambut suara diseberang sana, “ Ntan, Andi memutuskan pertunangan kami ( deni menceritakan panjang lebar diiringi dngan isak tangis). Deni dan Intan adalah temen dekat sejak SMU dan setelah bertemu dengan pria yang begitu dicintainya dan mencintainya, merekapun memutuskan tuk bertunangan lebih kurang tiga tahun lamanya. Deni selalu menjadikan Intan tempat curhatnya, ternyata Andi mencintai wanita sekantornya.dan memilih tuk memutuskan pertunangannya dengan deni meski kedua keluarga besar mereka telah begitu akrab. Percakapan telpon itupun berakhir setelah sipenelpon merasa tenang dengan nasehat-nasehat dan kata-kata bijak Intan.

Intan kembali bergelut dengan perasaannya, ternyata benar teoriku, kalo cara menjaga dan memlihara cinta hanya dengan pacaran atau menikah, tapi penjagaan dan pemeliharaan sejati itu hanya dengan ikatan resmi pernikahan yang akan memberi hak dan kewajiban kepada satu sama lain jika melangggar batass-batas yang telah digariskan.

Keesokan harinya, seperti biasa, Intan dan Ilham bertemu dalam organisasi yang sama, Intan memutuskan tuk melanjutkan pembicaraan di kantin sore itu dengan Ilham. ‘ Am kita makan yuk“ . demikian seperti biasa gaya Intan kalo ngajakin Ilham makan dan ingin ngomongin sesuatu. “ boleh, dimana ” sahut Ilham, ‘ Biasa ” jawab Intan. Merekapun melangkah menuju kantin langganannya.

Nasi goreng, yang biasanya gurih, terasa kurang nikmat di mulut intan, soalnya sodoran sendok seakan harus langsung hilang karena ditelan energi otaknya yang bekerja keras merangkai kata, agar yang keluar nanti dari mulutnya tidak menyakiti teman terbaiknya itu.

Dengan penuh keberanian Intan mulai mencoba mengatur keluarnya kata-kata dengan benar dan memperhatikan dengan seksama teman yang ada dihadapannya itu. “ Am, kita dah berteman selama dua tahun yach, aku merasa seneng banget, punya temen seperti kamu, meski kadang kita sering bertengkar juga, tapi kita dah saling memaklumi kekurangan masing-masing, dan perbedaan itu yang menjadikan kita deket khan, Am, maaf kan aku, kalo aku belom bisa memenuhi harapanmu, aku nggak bisa menjadi seseorang yang lebih dari seorang teman bagimu, aku ingin persahabatan kita abadi Am, kamu masih mau kan menjadi temanku dan aku akan bantu kami mengatur rasa itu, karena dah empat tahun lamanya aku belajar memanage cinta mengatur rasa, dan aku yakin aku akan bisa melakukannya” Demikian Intan menolak Ilham dengan halus tanpa lupa memotivasi Ilham tuk melupakan perasaannya.

Ntan, mesti kecewa dan sedih, tapi aku dah siap kok dengan kemungkinan terburuk ini, yuk kita jadikan ini bumbu persahabatan kita tuk merajut ikatan yang perhabatan sejati. Ilham menyambut kata-kata Intan dengan penuh kedewasaan dan pengertian.

Hari-hari berikutnya, masing-masing mereka berjuang keras untuk menjadikan persahabatan mereka biasa dan seakan tak ada riak-riak yang mendera, hingga akhirnya keduanya menemukan pelabuhan hari yang berujung pada perkawinan, namun persahabatan diantara mereka tak pernah luntur, meski jauh dimata namun dekat dihati juga berlaku tuk ikatan persahabatan mereka. ð















































Selengkapnya...