Thursday, September 18, 2008

Menyorot Administrasi Perkara di Pengadilan


Malparaktek dapat berakibat fatal, orang yang harusnya hidup dan tertolong tapi harus meninggal dan kehilangan anggota tubuh dikarenakan kelalaian seorang Dokter atau para medis, begitupun halnya dengan Maladministrasi Pengadilan yang tak kalah fatalnya, orang yang mestinya menghirup udara bebas tapi harus dikurung bahkan mungkin dapat dihukum mati. Begitulah sebuah kelalaian dapat berakibat fatal jika dianggap sepele dan dilakukan tanpa kontrol.

Institusi Pengadilan tak kalah pentingnya dibandingkan dengan Rumah Sakit, namun bedanya, Rumah Sakit perlu penanganan dalam waktu dekat tanpa bisa ditunda - tunda, sedangkan Pengadilan dapat menunda persidangan suatu perkara baik seminggu ataupun dua minggu,tanpa harus diburu waktu seperti halnya profesi seorang dokter.

Dokter dan Hakim menjadi dua spesialisasi pekerjaan yang sama pentingnya, namun berbeda soal waktu pelayanan. Penulis sengaja menggunakan istilah spesialisasi pekerjaan bukan memakai kata profesi, karena kalau penyebutan profesi akan terkait dengan pekerjaan dan "upah atau bayaran' sehingga tak ayal, jika penggunaan istilah Hakim sebagai profesi menjadi perdebatan hangat, karena, jika Hakim dianggap sebagai profesi maka akan ada upah atau bayaran dari pekerjaan atau pelayanan yang diberikan (sehingga itu menjadi alasan pembenar bagi terjadinya suap - menyuap yang jelas- jelas termasuk dalam lingkup mafia peradilan).

Meski aturan hukum mengenai Peradilan dan penyelesaian sengketa di Indonesia telah lama di atur bahkan warisan Belandapun, masih tetap " dilestarikan " sampai sekarang, termasuk pembaharuan UU,SEMA dan sejumlah aturan.Namun realitasnya tetap terjadi kesalahan, yang dikategorikan maladministrasi.

Malparaktek dapat berakibat fatal, orang yang harusnya hidup dan tertolong tapi harus meninggal dan kehilangan anggota tubuh dikarenakan kelalaian seorang Dokter atau para medis, begitupun halnya dengan Maladministrasi Pengadilan yang tak kalah fatalnya, orang yang mestinya menghirup udara bebas tapi harus dikurung bahkan mungkin dapat dihukum mati. Begitulah sebuah kelalaian dapat berakibat fatal jika dianggap sepele dan dilakukan tanpa kontrol.

Institusi Pengadilan tak kalah pentingnya dibandingkan dengan Rumah Sakit, namun bedanya, Rumah Sakit perlu penanganan dalam waktu dekat tanpa bisa ditunda - tunda, sedangkan Pengadilan dapat menunda persidangan suatu perkara baik seminggu ataupun dua minggu,tanpa harus diburu waktu seperti halnya profesi seorang dokter.

Dokter dan Hakim menjadi dua spesialisasi pekerjaan yang sama pentingnya, namun berbeda soal waktu pelayanan. Penulis sengaja menggunakan istilah spesialisasi pekerjaan bukan memakai kata profesi, karena kalau penyebutan profesi akan terkait dengan pekerjaan dan "upah atau bayaran' sehingga tak ayal, jika penggunaan istilah Hakim sebagai profesi menjadi perdebatan hangat, karena, jika Hakim dianggap sebagai profesi maka akan ada upah atau bayaran dari pekerjaan atau pelayanan yang diberikan (sehingga itu menjadi alasan pembenar bagi terjadinya suap - menyuap yang jelas- jelas termasuk dalam lingkup mafia peradilan).

Meski aturan hukum mengenai Peradilan dan penyelesaian sengketa di Indonesia telah lama di atur bahkan warisan Belandapun, masih tetap " dilestarikan " sampai sekarang, termasuk pembaharuan UU,SEMA dan sejumlah aturan.Namun realitasnya tetap terjadi kesalahan, yang dikategorikan maladministrasi.***

Selengkapnya...

Kenyamanan Beribadah, Hak Perempuan

Menyaksikan antrian wudhu dan berebut mukenah menjadi sesuatu yang tak asing lagi, ditemukan hampir pada setiap mushola maupun mesjid di Jakarta.Pemandangan yang mungkin lumrah apalagi kalau rumah Allah itu, berlokasi di pusat keramaian dan tempat- tempat strategis.

Hal itu menjadi pemandangan yang miris khususnya bagi mereka yang berasal dari daerah yang kental unsur keislamannya, karena memang di daerah yang kental nuansa islamnya, pembagian tempat dan kenyamanan perempuan dan pria dalam beribadah diletakkan pada posisi yang seimbang.

Kenapa tidak..Rumah Allah yang sejatinya bisa membawa ketenangan batin dan kesejukan melebihi sholat sendiri, ternyata tak ubahnya menjadi sesudut keramaian yang penuh sesak dan sangat tidak mengenakkan karena harus berburu waktu dan posisi, belum lagi persoalan sanitasi /air yang terbatas, tak terkecuali tempat wudhu yang sangat ala kadarnya bahkan tak sedikit justru tempat wudhu laki - laki dan perempuan dicampur.

Bagaimana untuk Pria
Berbeda halnya dengan peruntukan tempat sholat dan wudhu untuk perempuan, ternyata untuk pria jauh lebih terjamin. Dari sisi tempat wudhu, bagi pria lebih terjamin ketersediaan air-nya dan termasuk ketersediaan tempat. Sebaliknya bagi perempuan, selain tempat wudhunya yang kecil, bahkan terkadang justru tidak disediakan khusus, belum lagi masalah tempat sholat yang hanya seperdelapan mesjid bahkan mirisnya kadang ketika sujud, tak ayal kepala akan menyentuh kaki atau mungkin pantat jamaah dibarisan depan.

Barangkali jumlah pria yang lebih banyak sholat dimesjid dibandingkan dengan perempuan, menjadi alasan pembenar untuk menjadikan minimnya porsi tempat dan fasilitas sholat bagi perempuan. Sekilas hal itu memang dapat dibenarkan karena setiap hari Jum'at, mesjid- mesjid akan sesak dipenuhi oleh kaum Adam untuk mengikuti sholat jum'at. Namun bagaimana jika dibandingkan dengan sholat harian dengan frekuensi sholat wajibnya sebanyak lima kali dalam sehari, tidak kah itu menjadi penting artinya???.

Dalam pembangunan mesjid barangkali, tidak ada niat dari pengurus mesjid untuk memperlakukan perempuan sebagai mahkluk kelas dua atau mendiskriminasikan perempuan, namun faktor keterbatasan pendanaan dan lokasi yang menjadi penghalang pengurus mesjid untuk memberikan porsi yang sama untuk perempuan maupun pria atau bisa juga berangkat dari pemahaman bahwa perempuan tidak diwajibkan sholat di mesjid.

Siapa yang bertanggungjawab?
Menyedihkan memang, minimnya kenyamanan beribadah justru terjadi di negara yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan dalam konstitusi sendiri telah dicantumkan secara tegas diantaranya pada Pasal 29 ayat (2) UU menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Apakah negara perlu mengatur ukuran dan fasilitas sholat dimesjid?barangkali itu pertanyaan yang akan muncul dibenak kita, dalam mengartikulasikan peran negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan beribadah terhadap warga negara. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kembali kita dapat mengkaitkan dengan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan kaitannya dengan kebebasan dan pemenuhan akan rasa nyaman dan tentram serta perlakuan non diskriminatif.

Bukan sesuatu yang tidak mungkin jika negara yang diwakili pemuka agama khususnya mulai memberi perhatian lebih terhadap kenyamanan beribadah bagi perempuan, karena sangat aneh, jika ada perempuan yang terpaksa terlihat auratnya pada saat berwudhu, hanya karena tempat wudhunya yang terbuka atau justru bercampur dengan tempat wudhu bagi para pria.

Pengaturan secara umum misalnya dengan memberikan prasyarat minimal dalam pendirian mesjid atau mushola yaitu memberikan aturan mesti adanya tempat wudhu yang terpisah lengkap dengan air yang cukup, tempat sholat yang representatif dan proporsional dengan tetap mempertimbangkan lokasi dan luas lahan.

Dengan adanya pengaturan dan dukungan pemerintah termasuk kepedulian masyarakat, maka mesjid akan menjadi tempat yang nyaman bagi jamaahnya tanpa perlu berdesak-desakan dan "saling sikut" karena sempitnya ruangan untuk bersujud.****
Selengkapnya...

Komitmen Pelayanan Publik KPUD DKI Jakarta


Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta menjadi Pemilihan Kepala Daerah yang menarik dan menyita perhatian publik, tidak hanya dari warga DKI Jakarta namun juga masyarakat Indonesia secara luas. Meski untuk tingkat Propinsipun, masing -masing daerah bahkan telah lebih dahulu mengikuti perta demokrasi yang serupa.

Sekilas, DKI Jakarta tidak berbeda dengan Propinsi – propinsi lainnya di tanah air, bernaung di bawah payung hukum yang sama yakni UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun untuk urusan Pemilihan Kepala Daerah, ternyata DKI Jakarta begitu spesifik dan menarik untuk dilirik, karena selain DKI Jakarta sebagai Propinsi primadona tujuan warga yang berharap memperoleh penghidupan yang layak, juga terkait dengan kompleksitas persoalan yang dihadapinya, serta merupakan Propinsi yang menjadi tempat letaknya Ibu Kota Negara yang otomatis dekat dengan Presiden dan pemegang kekuasan Nasional, sehingga tak berlebihan kalau Pilkada DKI diibaratkan sebagai Pilres mini.

PILKADA DKI Jakarta dari sisi proses, pada prinsipnya sama dengan PILKADA lainnya yang telah atau akan digelar disejumlah Propinsi di Indonesia. Lembaga pelaksana pemilihan atau dikenal dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menjadi penyelenggara yang disibukkan dengan agenda besar ini. Ditandai dengan berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut peristiwa besar tersebut, seperti agenda jalan bersama sosialisasi PILKADA yang melibatkan ribuan orang, termasuk juga penandatanganan nota kesepahaman KPUD dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan para calon.

Kompleksitas Persoalan
Dalam persiapannya, persoalan yang hampir samapun terjadi juga di DKI, seperti jauh hari sebelum ditetapkan pasangan calon dan ditabuhnya gendang pertanda dimulainya masa kampanye, ternyata atribut – atribut liarpun telah bergentayangan disejumlah tempat strategis.


Meski telah ada penertiban dan penurunan atribut tersebut, tetapi tetap saja pemandangan yang sama, dengan hanya kerdipan matapun dapat terlihat nyata. Tak jelas kesulitan dalam penertiban tersebut, apakah karena banyaknya jumlah atribut sehingga menyulitkan petugas untuk membersihkan ??? atau barangkali itu bagian dari sosialisasi PILKADA dari calon atau penyelenggara sendiri. Lucunya ternyata justru terjadi pembedaan persepsi antara KPUD selaku pelaksana PILKADA dengan Panwaslu selaku pengawas pelaksanan PILKADA mengenai sosialisasi sebelum masa kampanye, KPUD mengizinkan karena dianggap bagian dari sosialisasi sedangkan Panwaslu melarang hal tersebut karena kampanye sebelum waktu yang ditentukan harus dihentukan (Kompas 13/07/2007).

Media kampanye tidak hanya digunakan oleh para calon atau KPUD untuk sosialisasi PILKADA, akan tetapi juga menjadi media bagi masyarakat atau oknum atau pihak – pihak yang apatis dengan Pilpres mini tersebut, terbukti disejumlah tempat di DKI secara terang- terangan ditemukan media kampanye Golput, sebagai bentuk himbauan moral agar masyarakat tidak menggunakan hak pilih, itu tentunya memperhangat suasana Ibu Kota sekaligus memusingkan KPUD dan Panwaslu termasuk pihak – pihak terkait lainnya, tak terkecuali para calon tentunya.

Beralih ke persoalan mendasar yang tak kalah urgennyapun terjadi, tepatnya persoalan pendataan pemilih. Berdasarkan pendataan Dinas Pendataan Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta hingga April 2007 telah terdata berjumlah 7.546.568 orang..

Padahal secara riel jumlah penduduk yang besar dengan skala pertumbuhan yang pesat setiap tahun begitu dapat dirasakan. Hal tersebut terjadi karena DKI menjadi tempat yang didambakan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, akibatnya tak jarang masyarakat yang sebelumnya menjadi penduduk suatu Propinsi tertentu, nekat pindah ke Jakarta walaupun tanpa ada kejelasan sumber penghidupan yang tetap, atau dengan kata lain Jakarta telah didiami oleh sekian banyak penduduk pendatang, barangkalipun telah menjadi warga yang berhak memilih pemimpin daerah ini.

Komposisi penduduk dan strategisnya peran Jakarta, tentunya telah menjadi kajian dan perhatian KPUD dalam mempersiapkan pemilihan Kepala Dearah untuk wilayah DKI apalagi didukung dengan anggaran sebesar 124 Milyar untuk pelaksanaan PILKADA DKI 2007. Daftar Pemilih Tetap berjumlah 5.725..767 hak pilih.

Hasil pendataan pemilih juga telah menimbulkan reaksi yang beragam dari sejumlah kalangan bahkan suhu politik semakin memanas mulai dengan adanya isu anak di bawah umur yang didaftar, terdaftarnya orang yang telah meninggal, bahkan terjadinya reaksi langsung warga terkait dengan Daftar Pemilih Tetap sampai akhirnya berujung pada pelaporan pencemaran nama baik terhadap salah seorang staf KPUD.

Pelayanan Publik

Sebagai penyelenggara negara dalam pelaksanaan PILKADA, maka KPUD memiliki peran yang signifikan dalam pemenuhan hak warga yakni pemenuhan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih sebagaimana diamanatkan Konstitusi negara, selain itu hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam DUHAM 1948, Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak politik warga akan dapat terpenuhi dengan baik jika negara segenap institusi yang ada dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik. Begitupun halnya Dalam konteks PILKADA, masyarakat mempunyai hak untuk dipilih dan memilih kepala daerahnya, sedangkan disisi lain negara wajib menyediakan infrastruktur agar hak tersebut dapat dijamin pelaksanaannya.

KPUD sebagai institusi yang bertanggung jawab kepada publik, mengemban kewajiban publik yang tidak ringan, apalagi dalam melaksanakan tugasnya diberi range waktu yang jelas dan terbatas. Dalam pengetian umum pelayanan publik yang bersinonim dengan pelayanan umum merupakan segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat , di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang – undangan ( Keputusan MENPAN Nomor 63/2003).

Kaitannya dengan pelayanan publik, nyata – nyata KPUD bertanggung jawab kepada publik sebagaimana putusan Yudisial Review Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan Pasal 57 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka posisi tawar masyarakat selaku pemegang mandat menjadi semakin signifikan dalam rangka proses demokratisasi di Indonesia.

Akibatnya fungsi penyelenggara PILKADA yang memegang peran strategis, menjadikan KPUD sebagai pusat perhatian dan barangkali pun dapat menjadi sumber dan sasaran kekecewaan publik, jika KPUD dianggap tidak mampu memuaskan pihak yang dilayaninya (dalam hal ini rakyat).

Peran sebagai pelayan publik yang diemban KPUD mengharuskan KPUD dapat melaksanakan tugas dengan tepat disaat yang tepat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dijalankan perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraab, penyelesaian pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik (Ratminto & Atik Septi Winarsih ;2005 ; 21).

PILKADA DKI diharapkan mencerminkan proses demokrasi yang Luber dan Jurdil sehingga akan dapat menjadi dapat menjadi percontohan bagi Propinsi lain di tanah air, maka KPUD DKI mau tak mau dituntut bekerja ekstra dalam penyelenggaraannya. Kompleksitas persoalan yang berujung kelalaian administrasi (maladministrasi) dalam pelayanan publik tidak bisa dijadikan alasan pembenar, karena PILKADA DKI telah ditopang anggaran yang tidak sedikit serta tempat berkumpulnya orang – orang cerdas dan para pakar, tak terkecuali penggangguran yang siap diberi pekerjaan termasuk mengawal dan memantau pelaksanaan PILKADA tersebut.

Warga DKI khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan menjadi pengawal yang siap menyorot setiap lini pelayanan yang diberikan pelayanan publik (KPUD) agar hak- hak mereka dapat terpenuhi dengan baik, sedangkan KPUD ditantang untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pemegang mandat, karena pemberian pelayanan publik yang baik adalah wujud komitmen KPUD dalam menjalankan tugas dan perannya. Sehingga seberapapun panas suhu politik, akan dapat teratasi dengan baik jika komitmen pelayanan publik KPUD dalam bekerja maksimal dapat terwujud serta masyarakat cermat memantau bahkan menuntut haknya. Semoga***
Selengkapnya...

Mengawasi Pendataan Aset Negara


Pengembalian uang negara begitu santer terdengar beberapa tahun belakangan. Apalagi intitusi penegak hukum sedang giat–giatnya memburu koruptor dengan harapan akan adanya pengembalian uang negara. Banyak pejabat yang akhirnya tertangkap tangan melakukan korupsi dan tak sedikit rumah dan harta bendanya harus disita karena tersangkut persoalan hukum.

Selaras dengan itupun, kita mendengar terjadinya baku tembak di lapangan antara aparat TNI dengan masyarakat, sebut saja peristiwa warga Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur dengan aparat Marinir TNI-AL, dan peristiwa Rumpin, Bogor yang semuanya bersumber dari pertikaian tanah.

Selaras dengan itupun, kita mendengar terjadinya baku tembak di lapangan antara aparat TNI dengan masyarakat, sebut saja peristiwa warga Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur dengan aparat Marinir TNI-AL, dan peristiwa Rumpin, Bogor yang semuanya bersumber dari pertikaian tanah.

Ironisnya, ini pun terjadi pada kepemilikan hak atas tanah oleh negara, dimana Pemerintah yang notabenenya menjadi penjaga hak negara justru terkesan “kurang peduli” dalam menjaga termasuk mendata dan memlihara hak atau aset yang dimilikinya.
Hal ini selaras dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan untuk semester kedua tahun 2007 khususnya untuk pemeriksaan manajemen aset terhadap 19 Departemen/Lembaga dengan jumlah aset yang diperiksa senilai Rp. 55, 09 triliun dengan temuan senilai Rp.19, 27 triliun (34, 97 %). Sedangkan pemeriksaan pada 52 Pemerintah Daerah meliputi aset senilai Rp. 46, 68 triliun dengan temuan senilai Rp. 18, 49 triliun (39,61 %).

Manajemen Pendataan Aset Buruk
Temuan pemeriksaan manajemen aset signifikan yang diungkap BPK adalah terkait permasalahan administrasi atau pencatatan dan bukti hak yang sah atas aset yang dikuasai. Bahkan persoalan tersebut merupakan persoalan yang sama pada setiap semesternya, demikian penyampaikan laporan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 17 April 2008.



Selain lemahnya, pendataan dan pengawasan aset negara pada masing-masing instansi ternyata disisi lain, kekurangcermatan masing-masing instansi juga menjadi mata rantai yang berujung konflik vertikal. Konflik vertikal ini terjadi karena; Pertama,pendudukan tanah oleh masyarakat terjadi dalam rangka meningkatkan daya guna dan pemanfaatan tanah terlantar. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena selain karena didorong oleh tidak seimbangnya pertumbuhan/kebutuhan penduduk dengan luas tanah yang tersedia, juga dibenarkan secara hukum dan menjadi salah satu prasyarat hapusnya hak atas tanah seperti diatur pada UU No 5 Tahun 1960 jo Pasal 15 PP 56 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, menyebutkan tanah yang telah dinyatakan terlantar akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Namun bagaimana jika yang ditelantarkan itu adalah tanah yang dikuasai negara? Tenyata aturan tersebut tidak cukup mengakomodir kondisi yang demikian.

Awal munculnya persoalan tanah tidak hanya sebatas tinggal atau bermukim di atas tanah negara. Lebih dari itu tindakan mendapatkan legalisasi kependudukan dari aparatur pemerintahan (Kelurahan dan Kecamatan), ditambah bukti pelunasan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan, menjadi modal masyarakat untuk mengajukan pendaftaran tanah sebagai bentuk pengakuan, sehingga intansi atau pejabat yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan bukti kepemilikan berupa sertifikat.

tanah negara tak sedikit berawal dari tanah masyarakat yang dipinjam oleh pemerintah karena situasi dalam kondisi bahaya, namun karena masyarakat tidak terlalu peduli pada saat ini dan pemerintahpun mensertifikatkan, maka akhirnya hal tersebut berujung pada terjadinya konflik seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat seperti yang terjadi Ia memberi contoh di Polonia, Medan, kejadian yang sama pun terjadi di Sabang, banyak lahan garapan dan lahan masyarakat yang diklaim jadi milik AL.

Belakangan terjadi konflik antara pihak–pihak yang berhak, sebut saja negara dan masyarakat atau justru negara tidak mengetahui, bahwa tanah tersebut adalah tanah negara karena lemahnya pendataan aset.

Lain tanah, lain pula rumah
Belum selesai persoalan tanah yang berujung pada pertumpahan darah. Maka rumah pun turut menjadi persoalan mendasar. Dalam konteks ini adalah rumah dinas. Rumah Dinas yang sejatinya adalah bangunan milik negara yang difungsikan sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri.

Namun belakangan beralih fungsi menjadi rumah milik pribadi, ambil contoh data hasil audit rumah MA yang dilakukan BPK ternyata ditemukan 19 unit rumah negara MA yang dihuni pihak yang tidak berhak.

Demikian hasil audit BPK, namun apakah hanya sebatas itu? Bisa dipastikan lebih dari itu yang terjadi di lapangan, barangkali lebih jauh dari itu tidak hanya sekedar menghuni bahkan mungkin telah beralih status hak atau menjadi pemilik. Bahkan rumah dinas bisa jadi telah dihuni dengan status kontrak yang memberi kewajiban bagi sipengontrak untuk menyetor sejumlah uang kepada kas pemegang ijin /PNS atas rumah dinas.

Dapat dibayangkan, bagaimana seandainya rumah yang lokasinya stategis dikontrakkan. Tentunya tidak sedikit biaya yang akan dikeluarkan dari kantong si pengontrak dan juga tak sedikir keuntungan yang bakal diraup oleh pemberi kontrak (Pertanyaannya, Bagaimana dengan kas negara????) sebuah pertanyaan besar yang semua orang akan dengan lugas bisa menjawab.Pasalnya rumah dinas kontrakan pajaknya masih dibebankan kepada pemerintah.

Selain itu, tak sedikit rumah dinas yang masih dikuasai oleh prjabat, dimana mereka sudah tidak lagi memegang jabatan. Tinggal bertahun-tahun, seakan menjadi legalitas hak atas rumah dinas. Barangkali pula kenyamanan atau kelonggaran pengawasan sehingga hal ini menjadi tidak dapat terpantau. Apalagi jika yang tinggal dirumah tersebut adalah seorang mantan pejabat yang sebelumnya disegani.

Meskipun penghunian rumah dinas atau pengambilalihan rumah dinaspun dimungkinkan untuk beralih kepemilikan menjadi rumah pribadi atau yang dikenal dengan rumah golongan III (PP 40 Tahun 1994 tentang Rumah Dinas).

Dilihat dari peruntukannya, maka rumah dinas adalah bagi bagi Pegawai Negeri Sipil baik karena jabatan maupun profesinya, perlahan beralih fungsi menjadi tanah milik pribadi (khususnya untuk rumah Golongan III yaitu rumah yang diberikan kepada pejabat karena jabatannya dan dikembalikan apabila berakhir masa jabatannya ( PP 40 Tahun 1999 jo PP No. 4 Tahun 2005 tentang Rumah Dinas).

Tanggung Jawab Siapa?
Kekayaan Negara. Selain itu kementrian terkait sebut saja Departemen Keuangan, Kementrian Sekretariat Negara dan Departemen atau intansi terkait dengan keberadaan aset negara (baik itu berbentuk tanah maupun rumah ) memiliki peran signifikan dalam pendataan aset tersebut termasuk PT. Perusahaan Pengelolaan Aset Negara (Persero).
Meskipun secara struktur organisasi dan tata kerja masing – masing Departemen atau kementrian telah jelas memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pendataan aset negara.

Namun koordinasi antar instansi dan unit kerja paling terendahpun dalam hal ini RT dan RW beserta perangkat keluarahan dan kecamatan ikut memiliki andil dalam pengawasan dan pendataan aset, tak terkecuali Badan Pertanahan Nasional sendiri yang paling menentukan lemah kuatnya pengawasan aset termasuk dukungan pejabat Pembuat Akta Tanah.

Tak kalah pentingnya, pendataan dan pengawasan pada masing-masing institusi pemilik aset perlu meningkatkan pengawasannya dan pendataan. Sehingga keterbatasan anggaran untuk mengawasi aset negara pada masing-masign institusi tidak jamannya lagi untuk dijadikan alasan. Karena meskipun menjaga lebih sulit dari mendapatkan. Tentunya, biaya untuk menjaga akan lebih kecil ketimbang cost untuk memperoleh kembali.
Karena tidak hanya membutuhkan pengorbanan finansial semata, namun lebih dari itu sengketa yang berujung konflik dan pertumbahan darahpun menjadi bahaya yang mengancam .

mata rantai, yang tidak hanya bisa diselesaikan secara parsial, namun simultan dan integral pada setiap lintas intansi dan sampai dengan institusi terendah sekalipun. Karena semua saling terkait, termasuk memperkuat payung hukum pengawasan.

Diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi pihak yang disalahkan, namun negara turut aktif mendata dan menjaga asetnya. Sekaligus dengan pendataan dan pengawasan ketat oleh negara, maka akan dapat meminimalisir konflik aset dalam negara, sehingga negara tidak menjadi pihak yang mengambilalih tanah terlantar untuk diterlantarkan.***.
Selengkapnya...

Reformasi Birokrasi Vs Arogansi Birokrasi


" Kalo saya melapor, nanti saya sendiri yang dipersulit"

Demikian ungkapan sebagian orang yang tidak ingin dipersulit dalam pelayanan publik. Kerap kali kita menemukan pilihan ; lebih baik diam dari pada memperpanjang urusan. Sehingga tak sedikit mereka mengeluarkan uang lebih dari pada memilih untuk mempertahankan idealismenya bahkan tekanan perasaan barangkalipun juga mesti dipendam.

Miris memang menemukan realitas persepsi tersebut di tengah kondisi negara yang katanya menuju negara demokratis. Ketika semangat reformasi memuncak tahun 1998 birokrasi tak luput dari desakan untuk ikut direformasi. Karena memang tidak dapat dipungkiri justru pada tubuh birokrasi berbajukan aparatur negara justru penyimpangan begitu mudah untuk dilakukan.

Realitas yang kontradiksi dengan harapan besar masyarakat perlu menjadi perhatian segenap pihak. Satu sisi tidak hanya mendesak tubuh birokrasi direformasi namun mental pejabat harus pula mendapat porsi yang lebih lebih. tak terkecuali mentalitas masyarakat juga turut dikembangkan untuk mendorong upaya reformasi.




Ketidakberanian melapor ketakutan masyarakat menghadapi resiko perlu diminimalisir. Sehingga ketika semangat reformasi birokrasi berhadapan dengan arogansi birokrasi, maka akan dikalahkan oleh hati nurani dan inspirasi serta semangant menghargai dan tertunya hal itu lahir dari bersinerginya kedua belah pihak yaitu masyarakat dan apartur negara sendiri.

Arogansi birokrasi terkadang diekspresikan tidak hanya dalam bentuk tidak melayani, menunda pelayanan, melayani dengan wajah tak bersahabat, bahkan ada yang lebih parah lagi ketika dikompen dan dilaporkan justru melaporkan balik dengan delik pencemaran nama baik. Parahnya terkadang justru penegak hukum sebut saja Kepolisian justru lebih memprioritaskan penanganan laporan delik pencemaran nama baik dari pada delik utama yang dilaporkan sebelumnya oleh dua pihak yang berlawanan.

Reformasi birokrasi meski didukung oleh mentalitas aparatur dan masyarakat, payung hukum yang menjamin supremasi hukum dan terciptanya good governance serta yang tak kalah pentingnya adalah adanya lembaga yang konsern terhadap pengawasan birokrasi itu sendiri baik internal dan eksternal.

Pengawasan aparatur pemerintahan, yang merupakan salah satu tugas pengawas ekternal yang selama ini dikenal dengan Komisi Ombudsman Nasional diharapkan akan semakin "bergigi" dan "bertaring" seiring dengan disahkannya UU Ombudsman Republik Indonesia oleh sidang paripurna DPR RI tertanggal 9 September 2008, sehingga ke depan diharapkan birokrasi kita adalah birokrasi yang benar-benar reformis.***.

Selengkapnya...