Monday, August 6, 2007

Harmonisasi Hubungan Departemen Luar Negeri dan Lembaga Legislatif


Tidak ada negara yang dapat hidup sendiri (no state can live a life to itself alone), negara adalah anggota dari masyarakat negara – negara (a community of state) dan setiap negara terlibat dalam pola/hubungan internasional ( a network of international relationship)

(Harold J.Laski ;The State in Theory and practice; London 1934)

Pendahuluan

Keterasingan dalam komunitas internasional bukan menjadi pilihan politik negara – negara di dunia, karena eksistensi suatu negara akan tercipta melalui pengakuan terhadap suatu negara (recognition of state), tentunya pengakuan lahir melalui proses asimilasi politik yang berujung pada terciptanya hubungan kerja sama antar negara.

Mutlaknya hubungan antar negara dalam pergaulan dunia, akibat dari globalisasi dan kaburnya batas antar negara yang dikenal dengan bordeless state atau dengan kata lain, ditembusnya tapal batas antar negara sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan informasi yang menjadikan transparannya sisi – sisi internal suatu negara.

Hubungan antara negara dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan unit politik yang didefinisikan menurut teritorial, populasi dan otonomi pemerintah secara efektif mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan homogenitas etnis, negara menyediakan suatu dasar yurisdiksi politik dan hukum dalam bentuk kewarganegaraan [1].Sedangkan politik adalah suatu aspek dari lembaga manusia yang sangat aneka ragam [2].

Dalam konteks nasional, politik luar negeri diartikan sebagai kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam hubungan dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Di tataran aplikasi politik luar negeri secara riel dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pelaksana teknis dibebankan kepada Departemen Luar Negeri. Sama halnya dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang memberikan tanggung jawab untuk melaksanakan politik luar negerinya kepada Departemen Luar Negeri dan Dinas – dinas luar negeri.

Departemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya instrumen lembaga kekuasaan lainnya. Berangkat dari teori trias politikanya Montesqieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Khusus untuk Indonesia dalam penerapannya tidak murni melakukan pemisahan kekuasaan, akan tetapi menerapkan trias politika dengan prinsip (division of power) dalam artian hubungan antar kekuasaan negara tersebut tidak secara murni terpisah satu sama lain, namun pemisahan yang tetap memungkinkan korelasi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.

Strategis Peranan

Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam perdamain, politik, ekonomi, kebudayaan, hankam dan sebagainya sebagaimana termaktub pada konstitusi negara. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri pada Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1966 yang menyatakan “ bahwa dalam bidang hubungan luar negeri Pemerintah Indonesia akan terus menjalankan politik non alignment yang tradisonal; salah satu politik bebas aktif dan politik non alignment bertujuan mengurangi ketegangan regional dan dunia (untuk mendirikan perdamaian)” [3].

Besarnya tujuan yang ingin dicapai dari politik luar negeri, semakin menunjukkan beratnya tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini Departemen Luar Negeri, karena citra Indonesia dimata internasional akan dapat diukur dari sejauhmana Departemen Luar Negeri dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang dihargai dan dihormati kedaulatannya oleh bangsa –bangsa lain di Dunia. Atau sejauhmana diplomasi total Deplu yang didukung oleh stakeholder baik itu dalam negeri maupun luar negeri terwujud dengan baik.

Pellibatan stakeholder sangat mendorong lahirnya kebijakan dalam negeri yang diharapkan selaras dengan kebijakan luar negeri. Pentingnya keselarasan tersebut sesuai dengan pidatonya Bung Hatta tanggal 15 Desember 1945 yang menyatakan “politik luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negeri ”.

Kebijakan dalam negeri dan luar negeri pembahasannya tidak dapat terlepas dari kajian lembaga yang berwenang mengeluarnya kebijakan. J. Goodnow menyebutkan fungsi politik sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan pembuatan kebijaksanaan atau perumusan pernyataan keinginan negara [4]. Khususnya lembaga pengambil kebijakan yakni Depertemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang menjadi representasi dari rakyat selaku pemegang kedaulatan negara.

Fungsi Departemen Luar Negeri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 salah satunya adalah untuk perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang politik dan hubungan luar negeri. Sedangkan legislatif sendiri diberi kewenangan untuk bersama – sama dengan Presiden membentuk Undang – undang dibekali dengan hak untuk meminta keterangan presiden, mengadakan penyelidikan yang diatur lebih jauh pada UU No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Perumusan kebijakan yang diemban legislatif berbeda dengan perumusan kebijakan yang diemban oleh eksekutif. Kebijakan lembaga legislatif terkait dengan regulasi dalam bentuk Undang - undang, sedangkan Departemen Luar Negeri kebijakan yang dikeluarkannya adalah kebijakan yang terkait dengan program atau kebijakan Pemerintah.

Upaya Harmonisasi Hubungan

Pembangunan politik luar negeri Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, jika segenap elemen – elemen terkait tidak bekerja sama untuk saling mendukung pembangunan. Jika hal itu terjadi tidak hanya akan berdampak pada terhambatnya pembangunan politik luar negeri, namun juga akan berakibat penurunan citra bangsa Indonesia dimata dunia, akhinya dapat berujung pada “pelecehan” dari negara lain terhadap kedaulatan Indonesia dalam bentuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang dikuras kekayaannya guna mendukung pasokan ketersediaan bahan baku bagi negara lain, maupun dengan menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk tujuan ekonomi, atau barangkali menempatkan Indonesia menjadi negara “penyumbang suara” di level Internasional. Naif sekali kalau Indonesia tidak memiliki bargaining position dimata Internasional.

Keberanian dan keyakinan politik perlu menjadi semangat segenap elemen bangsa sehingga suasana demokrasi tidak justru menjadikan rusaknya tataran sosial masyarakat dan lunturnya kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan institusi, contoh kasus masih segar diingatan kita, ketika menghangatnya suhu politik dalam negeri yang diwarnai penentangan dari sejumlah kalangan maupun dari partai – partai di lembaga legislatif terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang memberikan persetujuan terhadap Resolusi PBB 1747 intinya meminta Iran menghentikan proyek uraniumnya.

Berkaca dari hal tersebut, maka agar Indonesia “punya gigi” dimata Internasional, maka pilihan kebijakan politik luar negeri, strategi dalam melaksanakan kebijakan, flexibelitas kebijakan atau kebijakan yang bersifat responsif terhadap pesatnya perubahan peta politik Internasional perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Semua itu akan dapat dijewantahkan dalam bentuk kebijakan jika kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang lahir dari peran serta segenap stakeholder negara.

Legislatif sebagai representasi rakyat juga dituntut menjadi lembaga yang memiliki kemampuan adaptif dan analisis yang kuat terhadap kebijakan Pemerintah termasuk terhadap kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan yang diemban legislatif. Kongkritnya kemampuan analisis dan respon terhadap persoalan internasional menjadi salah satu prasayarat yang mendorong lahirnya kebijakan nasional berkualitas.

Dalam hal menentukan sikap Indonesia dalam hal ratifikasi sejumlah konvensi Internasional, menjadi sesuatu yang perlu kajian menyeluruh dari lembaga legislatif dan tentunya Pemerintah (Deplu) memegang peranan besar untuk mensuport dan memasok informasi dan program yang mampu meyakinkan legislatif terhadap perlunya atau tidaknya negara Indonesia meratifikasi dan mengeluarkan peraturan perundang - undangan nasional.

Kebijakan politik luar negeri tidak hanya kebijakan yang diharapkan didukung oleh masyarakat, namun keterlibatan masyarakat diharapkan akan dapat melahirkan dan mendukung kebijakan yang berkualitas. Kebijakan yang berkualitas serta mendapat dukungan masyarakat akan lahir melalui upaya harmonisasi hubungan antara departemen luar negeri dengan legislatif. Hal itu dapat dilakukan melalui upaya : Pertama Peningkatan kualitas sumber daya manusia (Deplu maupun legislatif), hal tersebut diperlukan karena kebijakan yang berkualitas akan dapat dilahirkan dari sumber daya manusia yang berkualitas. Deplu melalui pertimbangan politis yang diajukan Deplu ke legislatif dan legislatif melalui keputusan atau pilihan kebijakan yang dihasilkan diharapkan sama- sama saling mendukung. Kedua Sistem manajemen Interaksi antara lembaga, menjadi sesuatu yang mesti mendapat porsi perhatian besar dari negara, karena ketimpangan dan ketidakselarasan kebijakan muncul disebabkan karena tidak adanya standar atau sistem manajemen interaksi antar pembuat kebijakan yang berujung pada mispersepsi. Ketiga Tanggap terhadap perubahan suhu politik internasional, hal tersebut diperlukan karena, jika kebijakan yang dirumuskan adalah kebijakan yang tidak flexible, maka akan berakibat tertinggalnya negara Indonesia dalam pergaulan dunia. Keempat peran aktif masyarakat memonitor kebijakan menjadi sesuatu yang tidak dapat dianggap sepele.

Penutup

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi pilihan politik yang memiliki tujuan besar dan harapan besar untuk kemajuan negara. Rentannya konflik antar negara dalam hubungan internasional menuntut Indonesia memperkuat kedaulatan dan meningkatkan citra negara dimata bangsa – bangsa di dunia, sehingga Indonesia mampu menjadi negara yang berperan aktif sebagai subjek dalam pergaulan internasional yang dihargai kedaulatannya oleh negara lain.

Oleh karenanya, pencitraan dan penghargaan akan terwujud melalui upaya kebijakan dan pilihan politk yang kuat dan berkualitas serta mendapat dukungan dari segenap stakeholder dalam negeri maupun luar negeri. Maka lembaga perumus kebijakan ataupun lembaga pengawas kebijakan (Deplu dan legislatif) dituntut untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara lembaga.

Harmonisasi hubungan dapat tercipta melalui upaya penguatan sumber daya manusia masing – masing lembaga, perbaikan sistem informasi interaksi antara lembaga, sehingga tidak berakibat munculnya mispresepsi kebijakan, tanggap terhadap suhu politik dalam dan luar negeri, peran aktif masyarakat dalam memonitor kebijakan negara. Dengan adanya harmonisasi hubungan tersebut, diharapkan Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan menjadi negara yang tidak dipandang sebelah mata oleh negara – negara dalam pergaulan internasional.***.
Daftar Pustaka

- ClouloumbisTheodore A. – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66

- Dahl, Robert A, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976

- G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56

- Islamy M.Irfan, Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3

- Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005

- UUD 1945 amandemen ke 4

- Undang - Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Catatan Kaki
* Penulis adalah Asisten pada Komisi Ombudsman Nasional
[1] Theodore A. Clouloumbis – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66
[2] Robert A Dahl, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976
[3] G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56
[4] M.Irfan Islamy , Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3
Selengkapnya...

Penegakan Hukum sebagai Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan salah-satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum menurut Frederich Julius Stahl adalah pemenuhan hak-hak dasar warga (basic right/fundamental right) berupa perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan Instrumen pokok dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar warga tersebut adalah Kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana halnya yang tertuang pada Pasal 24 UUD 1945.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan pondasi utama dalam kehidupan bernegara, guna terciptanya ketertiban dan ketentraman, sehingga tidak heran jika banyak negara di dunia menjadikan penegakan hukum sebagai prioritas kebijakan dan pembaharuan, termasuk Indonesia yang ditandai dengan mulai berbenah dan dilengkapinya segala bentuk infrastuktur lembaga-lembaga baik itu dalam lingkup kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun lembaga-lembaga pengawas independen yang bertugas melakukan pengawalan terhadap terealisasinya jaminan penegakan hukum.

Terwujudnya penegakan hukum berkolerasi dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dirumuskan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia dalam konteks nasional di Indonesia telah diatur secara tegas pada konstitusi negara, selain itu juga dituangkan pada Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta sejumlah peraturan perundang-udangan lainnya.

HAM di Indonesia
Harapan bersinerginya lembaga pengawasan dan institusi penegakan hukum, juga menuntut perlunya peningkatan kesadaran hukum kritis masyarakat termasuk partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, karena masyarakat punya peran signifikan dalam pembentukan budaya hukum.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemenuhan HAM terkait dengan berhasil tidaknya penegakan hukum. Permasalahannya, apakan pemenuhan HAM bagi tiap warga negara telah dijamin? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menjunjung tinggi HAM.

Ini dapat dibuktikan dalam beberapa prasasti sejarah dari kerajaan-kerajaan besar di Indonesia masa lalu. Dan sejarah bangsa kita telah menempatkan HAM dalam prasasti. Contoh, HAM di Sumatera Selatan telah dikenal sejak jaman Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra (600-1400M). Cita-cita negara Kebangsaan Indonesia pertama berbunyi, Marvuat Vanua Criwijaya Siddhayatra Subiksha, artinya, suatu cita-cita negara yang adil dan makmur (Kaelan, 2004).
Kerajaan Sriwijaya lebih menitikberatkan pada keadilan dan kemakmuran. Apabila dapat ditafsirkan, keadilan ini adalah hak sipil dan politik, sedangkan kemakmuran adalah hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain Sriwijaya, Raja Airlangga dan Raja Majapahit juga telah mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.

Di Sulawesi Selatan telah di kenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat. Antara lain dinyatakan dalam buku adat, Tomatindo di Lagana, bahwa apabila raja berselisih paham dengan Dewan adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila Dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memutuskan (http://www.komnasham.go.id/; Sejarah HAM Nasional).
Kerajaan Pagaruyuang di Sumatera Barat banyak melahirkan petatah petitih adat yang menggambarkan keseluruhan budi pekerti dak penghargaan terhadap hak asasi. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Sayangnya hal ini kurang begitu diperhatikan oleh para ahli hukum (ibid). Padahal jika ingin terus digali dan dikembangkan maka pemenuhan HAM di Indonesia akan lebih cepat terwujud. Mengingat pengalaman yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sudah sedemikian lama. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata, konsep HAM dari barat, HAM yang telah ada di Indonesia sejak jaman kerajaan justru lebih baik. Sebab HAM yang dibawa dari Barat sedikit banyaknya telah dipengaruhi budaya Barat yang mungkin tidak sejalan dengan budaya bangsa kita.

Saat ini perlindungan HAM sudah diatur dalam konstitusi yang sudah mengalami empat kali perubahan beserta Undang-undang tentang HAM. Namun persoalan pelanggaran HAM masih tetap terdengar. Paling tidak, faktor utama kenapa pemenuhan HAM di Indonesia tidak memadai adalah karena lemahnya penegakan hukum. Dimana hukum hanya diartikan apa yang tertulis dalam Undang-undang, tanpa melihat keadilan dan kemanfaatan. Akibatnya, nilai suatu keadilan akan menjadi di nomorduakan oleh adanya kepastian hukum yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

Keadaan ini juga semakin diperparah dengan pemahaman dari aparat penegak hukum itu sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, pemenuhan HAM akan semakin sulit.

Problem Penegakan Hukum
Jika pemenuhan HAM erat kaitannya dengan penegakan hukum, maka sama artinya apabila penegakan hukum gagal sudah barang tentu pemenuhan HAM tidak akan bisa terwujud. Dalam penegakan hukum ada juga terdapat banyak faktor yang sangat berpengaruh, salah satunya adalah aparat penegak hukumnya itu sendiri. Dimana aparat penegak hukum merupakan penyelenggara negara yang bertugas melindungi dan memberikan jaminan HAM kepada warga masyarakat.

Menyorot lebih jauh aparat penegak hukum beserta lembaganya yang fungsinya dalam penegakan hukum, maka institusi Kepolisian menjadi gerbang utama penegakan hukum yang bernaung di bawah payung hukum Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya tersebut, maka Kepolisian diprasyaratkan agar menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat yang menjadikan Kepolisian sebagai intitusi penegakan hukum sering kali merasa apatis dengan kinerja apartur lembaga tersebut, karena memang dalam pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan yang dijalankan Kepolisian, tidak jarang bersikap kurang profesional. Sebagai misal sikap kurang professionalnya aparat kepolisian umunya adalah dibiarkannya laporan masyarakat berlarut-larut tidak segera ditindaklanjuti (undue delay). Selain itu, penangkapan dan penahanan tanpa alasan karena tidak didukung syarat formal berupa surat perintah penangkapan atau surat perintah penahanan yang jelas, penahanan yang melampaui batas batas waktu tanpa ada surat keterangan kepada pihak keluarga, termasuk juga menyangkut perlindungan saksi dan korban.

Hal yang hampir samapun seringkali dijumpai pada proses penyelesaian perkara ditahap penuntutan oleh pihak Kejaksaan, misalnya ada penuntut umum yang terlambat mengajukan upaya hukum sehingga berakibat merugikan korban, keterlambatan dalam memperpanjang atau menghentikan status penahanan dari tersangka berakibat ketidakjelasan dan terlanggarnya hak asasi Tersangka, selain itu juga ditemui tindakan Penuntut Umum yang hadir bergantian dalam persidangan dan tanpa didukung oleh koordinasi sehingga berakibat tidak berjalannya persidangan dan terpenuhinya dengan baik hak- hak para pihak termasuk Saksi, Korban maupun Tersangka atau Terdakwa.

Menyadari pentingnya keterangan Saksi dan Korban dalam penyelesaian suatu tindak pidana serta semakin banyaknya intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh Saksi maupun Korban bilamana hendak mencari keadilan, maka kemudian setelah melalui proses cukup panjang disahkanlah UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun tergolong baru dan belum terbentuknya lembaga pelaksanaan ketentuan ini, namun harapan agar keadilan tercapai dan kesulitan yang dialami oleh masyarakat sebagai Saksi dan Korban dapat diminimalisir dan dihapuskan.

Insitusi berikutnya yang menjadi pilar terpenting dan sangat menentukan dalam penegakan hukum adalah lembaga peradilan yang pada tahun 2004 telah dilakukan penyeragaman naungan instisusi Peradilan dari Kementian Kemakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, hal tersebut juga diikuti dengan revisi peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Berbicara tentang peradilan, tidak terlepas dari kepemimpinan dan menajemen lembaga peradilan, kinerja dan integritas Hakim, Panitera dan unsur-unsur pejabat di peradilan itu sendiri, prosedur penyelesaian perkara serta putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan termasuk eksekusi terhadap putusan.

Realitas di lapangan menunjukkan masih dominannya tindakan-tindakan yang tidak sebagaimana mestinya seperti, mulai dari pemeriksaan perkara yang memakan waktu lama, Hakim yang mempunyai hubungan darah atau semenda dengan Terdakwa atau Korban namun tidak mengundurkan diri dan justru berprilaku memihak dalam persidangan, akta pemberitahuan putusan yang terlambat atau tidak diserahkan kepada Jaksa maupun Tersangka, selain itu juga ditemui kesalahan ketik isi putusan sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum dari para pencari keadilan.

Pengawasan (Terhadap HAM)

Mahkamah Agung sebagai amanat Pasal 24 UUD 1945 merupakan pemegang Kekuasan Kehakiman, yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan, sebagai bentuk pengawasan internal institusi peradilan. Namun dengan semakin kompleknya problem penegakan hukum dan untuk meningkatkan check and balances, maka semua pihak merasa perlu dilakukan perbaikan dalam segala bidang mencakup internal maupun eksternal lembaga peradilan tersebut.

Maka, selain pembenahan payung hukum juga telah dilakukan upaya menggiatkan dan menguatkan institusi pengawas eksternal diantaranya, dikenal dengan Komisi Kepolisian yang hadir sebagai amanat dari UU No.2 tahun 2004 tentang Kepolisian, selain itu guna pengawasan Kejaksaan juga telah terbentuk Komisi Kejaksaan yang mengacu pada amanat UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terakhir untuk pengawasan peradilan dikenal dengan Komisi Yudisial adalah realisasi dari Pasal 24 B UUD 1945. Sedangkan berkaitan dengan administrasi dan pelayanan pubik yang dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara untuk mengawasinya maka telah pula dibentuk Komisi Ombudsman Nasional yang berada di bawah payung hukum Keputusan Presiden No 44 Tahun 2000. Pada dasarnya semua lembaga non-struktural yang disebut di atas, selain mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, juga memiliki kesamaan adalah menjamin pemenuhan HAM bagi masyarakat.

Adapun Komisi Ombudsman Nasional merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparat negara kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud mencakup aparat yang berada di pusat dan di daerah termasuk Peradilan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Tujuan didirikannya Komisi Ombudsman Nasional selain untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan di daerah, membantu menciptakan dan meningkatkan upaya pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, KKN, meningkatkan budaya hukum nasional adalah untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan publik di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang semakin baik.

Pengawasan yang dilakukan Komisi Ombudsman Nasional terhadap pelayanan publik adalah untuk menjamin masyarakat memperoleh pelayanan publik yang baik dan berkualitas, karena pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan “ negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Muatan konstitusi tersebut menegaskan bahwa pelayanan publik (yang baik) merupakan hak dasar atau hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam konteks Hak Asasi Manusia, pelayanan publik merupakan HAM di bidang ekonomi, social dan budaya yang merupakan HAM yang tidak terpisahkan dari HAM yang lain yakni bidang sipil dan politik, karena itulah, maka merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan publik yang baik.
Dibandingkan hak sipil dan politik, HAM dibidang ekonomi, social dan budaya cenderung terabaikan. Namun bukan berarti hak dibidang ekonomi, social dan budaya tidak lantas dipenuhi, akan menjadi timpang tentunya apabila hak-hak tersebut tidak dapat tercapai. Harapannya, selain mememuhi HAM dibidang sipil dan politik, HAM di bidang ekonomi, social dan budaya juga sangat perlu diperhatikan.

Penutup
Dengan begitu signifikannya urgensi penegakan hukum, maka pembenahan system dan bersinerginya segenap elemen, baik itu kemauan baik (good will) aparat penegak hukum, serta kesadaran kritis masyarakat sangat diperlukan demi terciptanya keseimbangan dan kepastian hukum dalam kerangka pemenuhan Hak Asasi Manusia sehingga praktek - praktek pelanggaran HAM dalam segala aspek kehidupan akan dapat terhindarkan, yang berujung pada terwujudnya keadilan dan terciptanya budaya taat hukum dalam kehidupan bernegara. Semoga.

** Selengkapnya...

Komitmen Pelayanan Publik KPUD DKI

Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta menjadi Pemilihan Kepala Daerah yang menarik dan menyita perhatian publik, tidak hanya dari warga DKI Jakarta namun juga masyarakat Indonesia secara luas. Meski untuk tingkat Propinsipun, masing - masing daerah bahkan telah lebih dahulu mengikuti pesta demokrasi yang serupa.

Sekilas, DKI Jakarta tidak berbeda dengan Propinsi – propinsi lainnya di tanah air. Namun untuk urusan Pemilihan Kepala Daerah, ternyata DKI Jakarta begitu spesifik dan menarik untuk dilirik, karena selain DKI Jakarta sebagai Propinsi primadona, tujuan warga yang berharap memperoleh penghidupan layak, juga terkait dengan kompleksitas persoalan yang dihadapinya, sekaligus merupakan Propinsi yang menjadi Ibu Kota Negara otomatis dekat dengan pemegang kekuasan nasional.

Tak berlebihan kalau Pilkada DKI diibaratkan sebagai Pilres mini. Apalagi DPR telah melakukan pengesahan UU DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara RI pada tanggal 17 Juli 2007. Otomatis payung hukum PILKADA DKI diatur di bawah UU DKI Jakarta, meski harus disusul dengan peraturan perundang- undangan lainnya.

PILKADA DKI Jakarta dari sisi proses, pada prinsipnya sama dengan PILKADA lainnya yang telah atau akan digelar disejumlah Propinsi di Indonesia. Lembaga pelaksana pemilihan atau dikenal dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menjadi penyelenggara yang disibukkan dengan agenda besar ini. Ditandai dengan berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut peristiwa besar tersebut, seperti agenda jalan bersama sosialisasi PILKADA yang melibatkan ribuan orang, termasuk juga penandatanganan nota kesepahaman KPUD dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan para calon.

Kompleksitas Persoalan

Dalam persiapannya, persoalan yang hampir samapun terjadi juga di DKI. Ada beberapa persoalan yang mesti diantisipasi, yakni pertama, masa kampanye PILKADA, seperti jauh hari sebelum ditetapkan pasangan calon dan ditabuhnya gendrang pertanda dimulainya masa kampanye, ternyata atribut – atribut liarpun telah bergentayangan disejumlah tempat strategis.

Meski telah ada penertiban dan penurunan atribut, tetapi tetap saja pemandangan yang sama terjadi. Tak jelas kesulitan dalam penertiban tersebut, apakah karena banyaknya jumlah atribut sehingga menyulitkan petugas untuk membersihkan ??? Atau barangkali itu bagian dari sosialisasi PILKADA dari calon atau penyelenggara sendiri.

Lucunya, justru terjadi pembedaan persepsi terkait dengan sosialisasi sebelum masa kampanye, antara KPUD selaku pelaksana PILKADA dengan Panitia Pengawas (PANWAS) selaku pengawas pelaksanaan PILKADA, KPUD mengizinkan karena dianggap bagian dari sosialisasi. Sedangkan PANWAS melarang hal tersebut karena belum masa kampanye sehingga harus dihentikan.

Kedua, Media kampanye. Dalam pemamfaatan media kampanye, ternyata tidak hanya digunakan oleh para calon atau KPUD untuk sosialisasi PILKADA. Akan tetapi juga menjadi media bagi masyarakat atau oknum atau pihak – pihak yang apatis dengan Pilpres mini tersebut. Terbukti disejumlah tempat di DKI secara terang- terangan ditemukan media kampanye Golput, sebagai bentuk himbauan moral agar masyarakat tidak menggunakan hak pilih. Tentunya memperhangat suasana Ibu Kota sekaligus memusingkan KPUD dan Panwaslu termasuk pihak – pihak terkait lainnya, tak terkecuali para calon tentunya.

Ketiga persoalan pendataan pemilih. Berdasarkan pendataan Dinas Pendataan Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta hingga April 2007 jumlah penduduk ayng telah terdata berjumlah 7.546.568 orang.. Padahal secara riel jumlah penduduk yang besar dengan skala pertumbuhan yang pesat setiap tahun begitu dapat dirasakan. Hal tersebut terjadi karena DKI menjadi tempat yang didambakan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Akibatnya tak jarang masyarakat yang sebelumnya menjadi penduduk suatu Propinsi tertentu, nekat pindah ke Jakarta walaupun tanpa ada kejelasan sumber penghidupan yang tetap. Dengan kata lain Jakarta telah didiami oleh sekian banyak penduduk pendatang. Barangkalipun telah menjadi warga yang berhak memilih pemimpin daerah ini.

Komposisi penduduk dan strategisnya peran Jakarta, tentunya menjadi kajian dan perhatian KPUD dalam mempersiapkan pemilihan Kepala Daerah untuk wilayah DKI. Apalagi didukung dengan anggaran sebesar 124 Milyar untuk pelaksanaan PILKADA DKI 2007 dengan jumlah 5.725..767 hak pilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap.

Hasil pendataan pemilih juga telah menimbulkan reaksi yang beragam dari sejumlah kalangan bahkan suhu politik semakin memanas mulai dengan adanya isu anak di bawah umur yang didaftar, terdaftarnya orang yang telah meninggal, bahkan terjadinya reaksi langsung warga terkait dengan Daftar Pemilih Tetap sampai akhirnya berujung pada pelaporan pencemaran nama baik terhadap salah seorang staf KPUD.

Pelayanan Publik

Sebagai penyelenggara negara dalam pelaksanaan PILKADA, maka KPUD memiliki peran yang signifikan dalam pemenuhan hak warga yakni pemenuhan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih sebagaimana diamanatkan Konstitusi negara, selain itu hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Deklarasi Universal HAM 1948, Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak politik warga akan dapat terpenuhi dengan baik jika negara dengan segenap institusi yang ada dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik. Begitupun halnya Dalam konteks PILKADA, masyarakat mempunyai hak untuk dipilih dan memilih kepala daerahnya. Sedangkan disisi lain negara wajib menyediakan infrastruktur agar hak tersebut dapat dijamin pelaksanaannya.

KPUD sebagai institusi yang bertanggung jawab kepada publik, sebagaimana putusan Yudisial Review Mahkamah Konstitusi yang telah membatalkan Pasal 57 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pastinya mengemban kewajiban publik yang tidak ringan, apalagi ditinjau dari sisi range waktu yang terbatas diberikan peraturan perundang - undangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Namun disisi lain justru posisi tawar masyarakat selaku pemegang mandat menjadi semakin signifikan dalam rangka proses demokratisasi di Indonesia.

Sehubungan dengan fungsi dan kewenangan strategis yang dimiliki KPUD, menjadikan KPUD sebagai pusat perhatian dan barangkalipun dapat menjadi sumber dan sasaran kekecewaan publik, jika KPUD dianggap tidak mampu memuaskan pihak yang dilayaninya (dalam hal ini masyarakat yang memiliki hak pilih).

Peran sebagai pelayan publik yang diemban KPUD mengharuskan KPUD dapat melaksanakan tugas dengan tepat disaat yang tepat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dijalankan perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik (Ratminto & Atik Septi Winarsih ;2005 ; 21).

PILKADA DKI diharapkan mencerminkan proses demokrasi yang Luber dan Jurdil sehingga akan menjadi percontohan bagi Propinsi lain di tanah air. KPUD DKI mau tak mau dituntut bekerja ekstra dalam penyelenggaraannya.

Kompleksitas persoalan yang berujung kelalaian administrasi (maladministrasi) dalam penyelenggaraan PILKADA tidak bisa dijadikan alasan pembenar, karena PILKADA DKI selain ditopang dana yang besar serta merupakan tempat berkumpulnya orang – orang cerdas dan para pakar yang siap menawarkan analisa kritis dan terobosan – terobosan pemikiran, tak terkecuali penggangguran yang siap diberi pekerjaan termasuk mengawal dan memantau pelaksanaan PILKADA tersebut.

Warga DKI khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan menjadi pengawal yang siap menyorot setiap lini pelayanan yang diberikan KPUD, agar hak- hak mereka dapat terpenuhi dengan baik. Sedangkan KPUD DKI sendiri ditantang untuk memberikan pelayanan yang baik kepada pemegang mandat, karena pemberian pelayanan publik yang baik adalah wujud komitmen KPUD dalam menjalankan tugas dan perannya. Sehingga seberapapun panas suhu politik, akan dapat teratasi dengan baik. ***

** Asisten Pada Komisi Ombudsman Nasional Selengkapnya...