Monday, August 6, 2007

Penegakan Hukum sebagai Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan salah-satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum menurut Frederich Julius Stahl adalah pemenuhan hak-hak dasar warga (basic right/fundamental right) berupa perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan Instrumen pokok dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar warga tersebut adalah Kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana halnya yang tertuang pada Pasal 24 UUD 1945.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan pondasi utama dalam kehidupan bernegara, guna terciptanya ketertiban dan ketentraman, sehingga tidak heran jika banyak negara di dunia menjadikan penegakan hukum sebagai prioritas kebijakan dan pembaharuan, termasuk Indonesia yang ditandai dengan mulai berbenah dan dilengkapinya segala bentuk infrastuktur lembaga-lembaga baik itu dalam lingkup kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun lembaga-lembaga pengawas independen yang bertugas melakukan pengawalan terhadap terealisasinya jaminan penegakan hukum.

Terwujudnya penegakan hukum berkolerasi dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dirumuskan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia dalam konteks nasional di Indonesia telah diatur secara tegas pada konstitusi negara, selain itu juga dituangkan pada Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta sejumlah peraturan perundang-udangan lainnya.

HAM di Indonesia
Harapan bersinerginya lembaga pengawasan dan institusi penegakan hukum, juga menuntut perlunya peningkatan kesadaran hukum kritis masyarakat termasuk partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum, karena masyarakat punya peran signifikan dalam pembentukan budaya hukum.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemenuhan HAM terkait dengan berhasil tidaknya penegakan hukum. Permasalahannya, apakan pemenuhan HAM bagi tiap warga negara telah dijamin? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menjunjung tinggi HAM.

Ini dapat dibuktikan dalam beberapa prasasti sejarah dari kerajaan-kerajaan besar di Indonesia masa lalu. Dan sejarah bangsa kita telah menempatkan HAM dalam prasasti. Contoh, HAM di Sumatera Selatan telah dikenal sejak jaman Sriwijaya dibawah Wangsa Syailendra (600-1400M). Cita-cita negara Kebangsaan Indonesia pertama berbunyi, Marvuat Vanua Criwijaya Siddhayatra Subiksha, artinya, suatu cita-cita negara yang adil dan makmur (Kaelan, 2004).
Kerajaan Sriwijaya lebih menitikberatkan pada keadilan dan kemakmuran. Apabila dapat ditafsirkan, keadilan ini adalah hak sipil dan politik, sedangkan kemakmuran adalah hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain Sriwijaya, Raja Airlangga dan Raja Majapahit juga telah mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama.

Di Sulawesi Selatan telah di kenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat. Antara lain dinyatakan dalam buku adat, Tomatindo di Lagana, bahwa apabila raja berselisih paham dengan Dewan adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila Dewan adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memutuskan (http://www.komnasham.go.id/; Sejarah HAM Nasional).
Kerajaan Pagaruyuang di Sumatera Barat banyak melahirkan petatah petitih adat yang menggambarkan keseluruhan budi pekerti dak penghargaan terhadap hak asasi. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia sejak dulu. Sayangnya hal ini kurang begitu diperhatikan oleh para ahli hukum (ibid). Padahal jika ingin terus digali dan dikembangkan maka pemenuhan HAM di Indonesia akan lebih cepat terwujud. Mengingat pengalaman yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sudah sedemikian lama. Tanpa bermaksud memandang sebelah mata, konsep HAM dari barat, HAM yang telah ada di Indonesia sejak jaman kerajaan justru lebih baik. Sebab HAM yang dibawa dari Barat sedikit banyaknya telah dipengaruhi budaya Barat yang mungkin tidak sejalan dengan budaya bangsa kita.

Saat ini perlindungan HAM sudah diatur dalam konstitusi yang sudah mengalami empat kali perubahan beserta Undang-undang tentang HAM. Namun persoalan pelanggaran HAM masih tetap terdengar. Paling tidak, faktor utama kenapa pemenuhan HAM di Indonesia tidak memadai adalah karena lemahnya penegakan hukum. Dimana hukum hanya diartikan apa yang tertulis dalam Undang-undang, tanpa melihat keadilan dan kemanfaatan. Akibatnya, nilai suatu keadilan akan menjadi di nomorduakan oleh adanya kepastian hukum yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

Keadaan ini juga semakin diperparah dengan pemahaman dari aparat penegak hukum itu sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, pemenuhan HAM akan semakin sulit.

Problem Penegakan Hukum
Jika pemenuhan HAM erat kaitannya dengan penegakan hukum, maka sama artinya apabila penegakan hukum gagal sudah barang tentu pemenuhan HAM tidak akan bisa terwujud. Dalam penegakan hukum ada juga terdapat banyak faktor yang sangat berpengaruh, salah satunya adalah aparat penegak hukumnya itu sendiri. Dimana aparat penegak hukum merupakan penyelenggara negara yang bertugas melindungi dan memberikan jaminan HAM kepada warga masyarakat.

Menyorot lebih jauh aparat penegak hukum beserta lembaganya yang fungsinya dalam penegakan hukum, maka institusi Kepolisian menjadi gerbang utama penegakan hukum yang bernaung di bawah payung hukum Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya tersebut, maka Kepolisian diprasyaratkan agar menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat yang menjadikan Kepolisian sebagai intitusi penegakan hukum sering kali merasa apatis dengan kinerja apartur lembaga tersebut, karena memang dalam pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan yang dijalankan Kepolisian, tidak jarang bersikap kurang profesional. Sebagai misal sikap kurang professionalnya aparat kepolisian umunya adalah dibiarkannya laporan masyarakat berlarut-larut tidak segera ditindaklanjuti (undue delay). Selain itu, penangkapan dan penahanan tanpa alasan karena tidak didukung syarat formal berupa surat perintah penangkapan atau surat perintah penahanan yang jelas, penahanan yang melampaui batas batas waktu tanpa ada surat keterangan kepada pihak keluarga, termasuk juga menyangkut perlindungan saksi dan korban.

Hal yang hampir samapun seringkali dijumpai pada proses penyelesaian perkara ditahap penuntutan oleh pihak Kejaksaan, misalnya ada penuntut umum yang terlambat mengajukan upaya hukum sehingga berakibat merugikan korban, keterlambatan dalam memperpanjang atau menghentikan status penahanan dari tersangka berakibat ketidakjelasan dan terlanggarnya hak asasi Tersangka, selain itu juga ditemui tindakan Penuntut Umum yang hadir bergantian dalam persidangan dan tanpa didukung oleh koordinasi sehingga berakibat tidak berjalannya persidangan dan terpenuhinya dengan baik hak- hak para pihak termasuk Saksi, Korban maupun Tersangka atau Terdakwa.

Menyadari pentingnya keterangan Saksi dan Korban dalam penyelesaian suatu tindak pidana serta semakin banyaknya intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh Saksi maupun Korban bilamana hendak mencari keadilan, maka kemudian setelah melalui proses cukup panjang disahkanlah UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun tergolong baru dan belum terbentuknya lembaga pelaksanaan ketentuan ini, namun harapan agar keadilan tercapai dan kesulitan yang dialami oleh masyarakat sebagai Saksi dan Korban dapat diminimalisir dan dihapuskan.

Insitusi berikutnya yang menjadi pilar terpenting dan sangat menentukan dalam penegakan hukum adalah lembaga peradilan yang pada tahun 2004 telah dilakukan penyeragaman naungan instisusi Peradilan dari Kementian Kemakiman menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, hal tersebut juga diikuti dengan revisi peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Berbicara tentang peradilan, tidak terlepas dari kepemimpinan dan menajemen lembaga peradilan, kinerja dan integritas Hakim, Panitera dan unsur-unsur pejabat di peradilan itu sendiri, prosedur penyelesaian perkara serta putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan termasuk eksekusi terhadap putusan.

Realitas di lapangan menunjukkan masih dominannya tindakan-tindakan yang tidak sebagaimana mestinya seperti, mulai dari pemeriksaan perkara yang memakan waktu lama, Hakim yang mempunyai hubungan darah atau semenda dengan Terdakwa atau Korban namun tidak mengundurkan diri dan justru berprilaku memihak dalam persidangan, akta pemberitahuan putusan yang terlambat atau tidak diserahkan kepada Jaksa maupun Tersangka, selain itu juga ditemui kesalahan ketik isi putusan sehingga berakibat tidak adanya kepastian hukum dari para pencari keadilan.

Pengawasan (Terhadap HAM)

Mahkamah Agung sebagai amanat Pasal 24 UUD 1945 merupakan pemegang Kekuasan Kehakiman, yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan, sebagai bentuk pengawasan internal institusi peradilan. Namun dengan semakin kompleknya problem penegakan hukum dan untuk meningkatkan check and balances, maka semua pihak merasa perlu dilakukan perbaikan dalam segala bidang mencakup internal maupun eksternal lembaga peradilan tersebut.

Maka, selain pembenahan payung hukum juga telah dilakukan upaya menggiatkan dan menguatkan institusi pengawas eksternal diantaranya, dikenal dengan Komisi Kepolisian yang hadir sebagai amanat dari UU No.2 tahun 2004 tentang Kepolisian, selain itu guna pengawasan Kejaksaan juga telah terbentuk Komisi Kejaksaan yang mengacu pada amanat UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, terakhir untuk pengawasan peradilan dikenal dengan Komisi Yudisial adalah realisasi dari Pasal 24 B UUD 1945. Sedangkan berkaitan dengan administrasi dan pelayanan pubik yang dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara untuk mengawasinya maka telah pula dibentuk Komisi Ombudsman Nasional yang berada di bawah payung hukum Keputusan Presiden No 44 Tahun 2000. Pada dasarnya semua lembaga non-struktural yang disebut di atas, selain mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, juga memiliki kesamaan adalah menjamin pemenuhan HAM bagi masyarakat.

Adapun Komisi Ombudsman Nasional merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparat negara kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud mencakup aparat yang berada di pusat dan di daerah termasuk Peradilan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Tujuan didirikannya Komisi Ombudsman Nasional selain untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di pusat dan di daerah, membantu menciptakan dan meningkatkan upaya pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, KKN, meningkatkan budaya hukum nasional adalah untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan publik di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang semakin baik.

Pengawasan yang dilakukan Komisi Ombudsman Nasional terhadap pelayanan publik adalah untuk menjamin masyarakat memperoleh pelayanan publik yang baik dan berkualitas, karena pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam konstitusi Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan “ negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Muatan konstitusi tersebut menegaskan bahwa pelayanan publik (yang baik) merupakan hak dasar atau hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam konteks Hak Asasi Manusia, pelayanan publik merupakan HAM di bidang ekonomi, social dan budaya yang merupakan HAM yang tidak terpisahkan dari HAM yang lain yakni bidang sipil dan politik, karena itulah, maka merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan publik yang baik.
Dibandingkan hak sipil dan politik, HAM dibidang ekonomi, social dan budaya cenderung terabaikan. Namun bukan berarti hak dibidang ekonomi, social dan budaya tidak lantas dipenuhi, akan menjadi timpang tentunya apabila hak-hak tersebut tidak dapat tercapai. Harapannya, selain mememuhi HAM dibidang sipil dan politik, HAM di bidang ekonomi, social dan budaya juga sangat perlu diperhatikan.

Penutup
Dengan begitu signifikannya urgensi penegakan hukum, maka pembenahan system dan bersinerginya segenap elemen, baik itu kemauan baik (good will) aparat penegak hukum, serta kesadaran kritis masyarakat sangat diperlukan demi terciptanya keseimbangan dan kepastian hukum dalam kerangka pemenuhan Hak Asasi Manusia sehingga praktek - praktek pelanggaran HAM dalam segala aspek kehidupan akan dapat terhindarkan, yang berujung pada terwujudnya keadilan dan terciptanya budaya taat hukum dalam kehidupan bernegara. Semoga.

**

1 comment:

Atasi Wc Mampet Tanpa Sedot said...

menarik dan bermanfaat sekali nih infonya
du tunggu info selanjutnya
terimakasih