Monday, January 8, 2007

Sorot Isu

Menyoal, Usul Perubahan Konstitusi

Perubahan konstitusi merupakan hal yang tidak asing lagi, kalau sebelumnya merupakan “kegiatan terlarang” untuk diusulkan apalagi dilakukan, namun pasca reformasi berbagai celah kekurangan konstitusi perlahan mulai diperbaiki melalui mekanisme hukum yang dikenal dengan amandemen, sehingga konstitusi yang kita kenal hari ini merupakan hasil amandemen ke-empat.

Kembali perubahan konstitusi menjadi isu hangat untuk dibicarakan setelah munculnya usul dari 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah mengenai perlunya perubahan pada Pasal 22 UUD 1945 melalui surat yang ditandatangani oleh Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita dengan Nomor DPD/HM.310/295/2006 ditujukan kepada Ketua MPR tertanggal 8 Juni 2006 yang lalu.
Hal tersebut ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan terutama kalangan DPR yang merupakan rekan kerja DPD sendiri, ada yang menilai positif dan ada yang justru sebaliknya mempertanyakan eksistensi dari DPD sendiri bahkan komentar yang bermuatan kritik membangun atas kinerja DPD justru sebaliknya dipertanyakan. Hal yang lumrah sebenarnya, karena memang eksistensi DPD belum banyak dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya di daerah yang mereka wakili.

Namun kalau dicermati lebih jauh, usul perubahan konstitusi pada dasarnya tidak dilarang bahkan pada Pasal 37 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa “putusan untuk mengubah Pasal-pasal Undang-undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR “.Terkait dengan inisiatif atau siapa yang mengajukan perubahan konstitusi tenyata tidak ada batasan tegas dalam UUD, dalam artian perubahan itu dapat saja diusulkan oleh anggota DPR, DPD, organisasi ataupun perorangan, namun catatan yang mesti diperhatikan bahwa usul perubahan tersebut akan menjadi agenda resmi jika telah disetujui oleh anggota MPR.

Mencermati persoalan pengusulan amandemen konstitusi sesuatu yang sebenarnya mesti mendapat apresiasi lebih karena memang hukum tidak selalu sebanding dengan perkembangan masyarakat hingga perlu selalu dievaluasi dan dikritisi, namun usulan tersebut menjadi semakin kompleks ketika itu muncul dari sebuah fostur lembaga negara bernama DPD yang sejak awal pembentukan rumusannya dalam amandemen UUD, telah dibangun atas landasan yang tidak kuat, sebut saja dari komposisi bahwa jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR, hal ini akan menimbulkan konsekuensi logis jika terjadi penentuan jumlah suara melalui voting maka otomatis DPD akan kalah dengan sendirinya, atau menggambarkan bahwa mesti DPD dan DPR punya kedudukan sederajat dalam forum MPR namun DPR tetaplah lebih kuat.

Ada apa dengan Pasal 22 D UUD 1945 ?
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga baru yang diperkenalkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945, diatur secara khusus dalam konstitusi pada Pasal 22 UUD 1945 yang lebih jauh dalam pengaturannya melalui UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Kenapa Pasal 22 UUD 1945 mesti diubah, pertanyaan itu akan muncul dalam benak kita, ketika persoalan pengusulan perubahan menjadi isu kontraproduktif untuk DPD, ternyata pada pasal tersebut mengatur hal yang begitu berarti bagi DPD yakni tentang tugas, fungsi dan wewenang DPD, secara substansi pada pasal tersebut dijelaskan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama,terakhir DPD juga dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dana agama serta menyampaikan pengawasan keada DPR untuk ditindaklanjuti.

Setelah dilihat lebih jauh, kewenangan yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Hal ini menunjukkan adanya semangat birokratis pada rumusan tersebut, padahal DPD dan DPR mempunyai kedudukan yang setara namun untuk kewenangan dibidang legislasi (penyusunan undang-undang) tetap saja DPD harus melewati jenjang birokratis yakni persetujuan DPR, sehingga keberhasilan agenda DPD akan sangat ditentukan oleh respon yang diberikan oleh anggota DPR.

Oleh karena itu amandemen konstitusi terkait dengan kewenangan DPD mesti diperkuat karena dari segi legitimasi DPD jauh lebih riel mewakili masyarakat karena proses pemilihannya merupakan representasi dari keinginan masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang mereka pilih sendiri, selain itu dengan kewenangan “setengah hati” yang dimilikinya DPD maka gerakan DPD mengalami kendala tersendiri. Oleh karena itu perubahan konstitusi memang menjadi bagian sentral yang akan menentukan “ nasib” DPD ke depan, karena tanpa adanya konsep yang jelas untuk lembaga negara ini, maka akan senantiasa membawa problem tersendiri bagi DPD dalam menjalankan kiprahnya apalagi dengan semakin kompleknya permasalahan di daerah.

Namun yang perlu dipertimbangkan dalam pengusulan antara lain pertama konsep pengusulan haruslah jelas, dan berdasarkan penelitian akurat yang sampai pada kesimpulan bahwa keterbatasan gerak yang dialami oleh DPD karena memang kecilnya kewenangan yang dimilikinya, kedua pilihan momentum yang tepat perlu menjadi perhatian serius bagi DPD di tengah banyaknya persoalan bangsa yang mesti mendapat perhatian yang lebih besar dan perlu penanganan serius ketiga dengan sistem yang ada DPD perlu mengatur strategi untuk meraup lebih besar dukungan anggota DPR dalam mendukung pengusulan amandemen keempat pihak DPR haruslah memandang usulan perubahan tersebut dengan lebih objektif tidak hanya dengan semangat melihat secara politisasi dan ego sektoral. Jika usulan perubahan tidak dipertimbangkan secara seksama oleh segenap elemen maka konstitusi yang ada akan selalu menjadi bagian yang siap “bongkar pasang” dari pihak-pihak yang kemudian “merasa kurang kewenangan”. Diharapkan ke depan konstitusi menjadi hukum dasar yang mampu menjawab kebutuhan riel warga negara dan tidak hanya menjadi kumpulan lembaran-lembaran energi yang mampu mensuplai kepentingan segelintir oknum-oknum tertentu. Semoga ***

No comments: