Thursday, September 18, 2008

Mengawasi Pendataan Aset Negara


Pengembalian uang negara begitu santer terdengar beberapa tahun belakangan. Apalagi intitusi penegak hukum sedang giat–giatnya memburu koruptor dengan harapan akan adanya pengembalian uang negara. Banyak pejabat yang akhirnya tertangkap tangan melakukan korupsi dan tak sedikit rumah dan harta bendanya harus disita karena tersangkut persoalan hukum.

Selaras dengan itupun, kita mendengar terjadinya baku tembak di lapangan antara aparat TNI dengan masyarakat, sebut saja peristiwa warga Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur dengan aparat Marinir TNI-AL, dan peristiwa Rumpin, Bogor yang semuanya bersumber dari pertikaian tanah.

Selaras dengan itupun, kita mendengar terjadinya baku tembak di lapangan antara aparat TNI dengan masyarakat, sebut saja peristiwa warga Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur dengan aparat Marinir TNI-AL, dan peristiwa Rumpin, Bogor yang semuanya bersumber dari pertikaian tanah.

Ironisnya, ini pun terjadi pada kepemilikan hak atas tanah oleh negara, dimana Pemerintah yang notabenenya menjadi penjaga hak negara justru terkesan “kurang peduli” dalam menjaga termasuk mendata dan memlihara hak atau aset yang dimilikinya.
Hal ini selaras dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan untuk semester kedua tahun 2007 khususnya untuk pemeriksaan manajemen aset terhadap 19 Departemen/Lembaga dengan jumlah aset yang diperiksa senilai Rp. 55, 09 triliun dengan temuan senilai Rp.19, 27 triliun (34, 97 %). Sedangkan pemeriksaan pada 52 Pemerintah Daerah meliputi aset senilai Rp. 46, 68 triliun dengan temuan senilai Rp. 18, 49 triliun (39,61 %).

Manajemen Pendataan Aset Buruk
Temuan pemeriksaan manajemen aset signifikan yang diungkap BPK adalah terkait permasalahan administrasi atau pencatatan dan bukti hak yang sah atas aset yang dikuasai. Bahkan persoalan tersebut merupakan persoalan yang sama pada setiap semesternya, demikian penyampaikan laporan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 17 April 2008.



Selain lemahnya, pendataan dan pengawasan aset negara pada masing-masing instansi ternyata disisi lain, kekurangcermatan masing-masing instansi juga menjadi mata rantai yang berujung konflik vertikal. Konflik vertikal ini terjadi karena; Pertama,pendudukan tanah oleh masyarakat terjadi dalam rangka meningkatkan daya guna dan pemanfaatan tanah terlantar. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena selain karena didorong oleh tidak seimbangnya pertumbuhan/kebutuhan penduduk dengan luas tanah yang tersedia, juga dibenarkan secara hukum dan menjadi salah satu prasyarat hapusnya hak atas tanah seperti diatur pada UU No 5 Tahun 1960 jo Pasal 15 PP 56 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, menyebutkan tanah yang telah dinyatakan terlantar akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Namun bagaimana jika yang ditelantarkan itu adalah tanah yang dikuasai negara? Tenyata aturan tersebut tidak cukup mengakomodir kondisi yang demikian.

Awal munculnya persoalan tanah tidak hanya sebatas tinggal atau bermukim di atas tanah negara. Lebih dari itu tindakan mendapatkan legalisasi kependudukan dari aparatur pemerintahan (Kelurahan dan Kecamatan), ditambah bukti pelunasan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan, menjadi modal masyarakat untuk mengajukan pendaftaran tanah sebagai bentuk pengakuan, sehingga intansi atau pejabat yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan bukti kepemilikan berupa sertifikat.

tanah negara tak sedikit berawal dari tanah masyarakat yang dipinjam oleh pemerintah karena situasi dalam kondisi bahaya, namun karena masyarakat tidak terlalu peduli pada saat ini dan pemerintahpun mensertifikatkan, maka akhirnya hal tersebut berujung pada terjadinya konflik seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat seperti yang terjadi Ia memberi contoh di Polonia, Medan, kejadian yang sama pun terjadi di Sabang, banyak lahan garapan dan lahan masyarakat yang diklaim jadi milik AL.

Belakangan terjadi konflik antara pihak–pihak yang berhak, sebut saja negara dan masyarakat atau justru negara tidak mengetahui, bahwa tanah tersebut adalah tanah negara karena lemahnya pendataan aset.

Lain tanah, lain pula rumah
Belum selesai persoalan tanah yang berujung pada pertumpahan darah. Maka rumah pun turut menjadi persoalan mendasar. Dalam konteks ini adalah rumah dinas. Rumah Dinas yang sejatinya adalah bangunan milik negara yang difungsikan sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri.

Namun belakangan beralih fungsi menjadi rumah milik pribadi, ambil contoh data hasil audit rumah MA yang dilakukan BPK ternyata ditemukan 19 unit rumah negara MA yang dihuni pihak yang tidak berhak.

Demikian hasil audit BPK, namun apakah hanya sebatas itu? Bisa dipastikan lebih dari itu yang terjadi di lapangan, barangkali lebih jauh dari itu tidak hanya sekedar menghuni bahkan mungkin telah beralih status hak atau menjadi pemilik. Bahkan rumah dinas bisa jadi telah dihuni dengan status kontrak yang memberi kewajiban bagi sipengontrak untuk menyetor sejumlah uang kepada kas pemegang ijin /PNS atas rumah dinas.

Dapat dibayangkan, bagaimana seandainya rumah yang lokasinya stategis dikontrakkan. Tentunya tidak sedikit biaya yang akan dikeluarkan dari kantong si pengontrak dan juga tak sedikir keuntungan yang bakal diraup oleh pemberi kontrak (Pertanyaannya, Bagaimana dengan kas negara????) sebuah pertanyaan besar yang semua orang akan dengan lugas bisa menjawab.Pasalnya rumah dinas kontrakan pajaknya masih dibebankan kepada pemerintah.

Selain itu, tak sedikit rumah dinas yang masih dikuasai oleh prjabat, dimana mereka sudah tidak lagi memegang jabatan. Tinggal bertahun-tahun, seakan menjadi legalitas hak atas rumah dinas. Barangkali pula kenyamanan atau kelonggaran pengawasan sehingga hal ini menjadi tidak dapat terpantau. Apalagi jika yang tinggal dirumah tersebut adalah seorang mantan pejabat yang sebelumnya disegani.

Meskipun penghunian rumah dinas atau pengambilalihan rumah dinaspun dimungkinkan untuk beralih kepemilikan menjadi rumah pribadi atau yang dikenal dengan rumah golongan III (PP 40 Tahun 1994 tentang Rumah Dinas).

Dilihat dari peruntukannya, maka rumah dinas adalah bagi bagi Pegawai Negeri Sipil baik karena jabatan maupun profesinya, perlahan beralih fungsi menjadi tanah milik pribadi (khususnya untuk rumah Golongan III yaitu rumah yang diberikan kepada pejabat karena jabatannya dan dikembalikan apabila berakhir masa jabatannya ( PP 40 Tahun 1999 jo PP No. 4 Tahun 2005 tentang Rumah Dinas).

Tanggung Jawab Siapa?
Kekayaan Negara. Selain itu kementrian terkait sebut saja Departemen Keuangan, Kementrian Sekretariat Negara dan Departemen atau intansi terkait dengan keberadaan aset negara (baik itu berbentuk tanah maupun rumah ) memiliki peran signifikan dalam pendataan aset tersebut termasuk PT. Perusahaan Pengelolaan Aset Negara (Persero).
Meskipun secara struktur organisasi dan tata kerja masing – masing Departemen atau kementrian telah jelas memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pendataan aset negara.

Namun koordinasi antar instansi dan unit kerja paling terendahpun dalam hal ini RT dan RW beserta perangkat keluarahan dan kecamatan ikut memiliki andil dalam pengawasan dan pendataan aset, tak terkecuali Badan Pertanahan Nasional sendiri yang paling menentukan lemah kuatnya pengawasan aset termasuk dukungan pejabat Pembuat Akta Tanah.

Tak kalah pentingnya, pendataan dan pengawasan pada masing-masing institusi pemilik aset perlu meningkatkan pengawasannya dan pendataan. Sehingga keterbatasan anggaran untuk mengawasi aset negara pada masing-masign institusi tidak jamannya lagi untuk dijadikan alasan. Karena meskipun menjaga lebih sulit dari mendapatkan. Tentunya, biaya untuk menjaga akan lebih kecil ketimbang cost untuk memperoleh kembali.
Karena tidak hanya membutuhkan pengorbanan finansial semata, namun lebih dari itu sengketa yang berujung konflik dan pertumbahan darahpun menjadi bahaya yang mengancam .

mata rantai, yang tidak hanya bisa diselesaikan secara parsial, namun simultan dan integral pada setiap lintas intansi dan sampai dengan institusi terendah sekalipun. Karena semua saling terkait, termasuk memperkuat payung hukum pengawasan.

Diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi pihak yang disalahkan, namun negara turut aktif mendata dan menjaga asetnya. Sekaligus dengan pendataan dan pengawasan ketat oleh negara, maka akan dapat meminimalisir konflik aset dalam negara, sehingga negara tidak menjadi pihak yang mengambilalih tanah terlantar untuk diterlantarkan.***.

No comments: