Tuesday, July 17, 2007

LEGALISASI HADIAH UNTUK HAKIM

Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah lengkap dengan aneka budaya bangsa dan penduduk yang ramah tamah juga suka memberi, semua itu merupakan bagian dari deskripsi tentang bangsa ini dan menjadi sesuatu yang mesti dibanggakan oleh putera-puteri Indonesia. Namun bagaimana kalau prilaku suka memberi menjadi budaya yang digalakkan untuk para hakim? Mungkin sebuah jawaban sederhana yang muncul sebagai jawaban adalah hakim juga manusia. Akan tetapi apakah persoalan pemberian hadiah bagi para hakim, cukup menjadi wacana yang mampu diselesaikan dengan jawaban klise nan manusiawi ? sebuah pertanyaan yang mesti diulas panjang lebar.Ternyata tidak sesederhana itu, karena hakim tidak hanya sekedar manusia biasa, hakim adalah jabatan yang mulia dan menjadi salah satu pilar negara demokrasi disamping legislatif dan eksekutif, yang pengaturannya langsung diletakkan dalam konsitusi negara.

Budaya orang-orang yang yang suka memberi jika dipertemukan dengan orang-orang yang tidak bisa menolak, adalah perpaduan prilaku yang menunjukkan kecocokan nan apik. Akan tetapi hal ini merupakan sesuatu yang berbahaya jika dibalik perilaku tersebut mengandung motif tertentu dan ditujukan pada orang atau jabatan tertentu, mesti tidak ada alasan bagi para hakim untuk menolak sebuah pemberiah atau hadiah namun alasan untuk menerimapun juga sebenarnya tidak ada.

Naifnya, sekarang persoalan tersebut tidak hanya menjadi bagian yang bertentangan secara logika dan hati nurani, akan menjadi sesuatu yang tidak dilarang bahkan justru “dilegalkan” oleh sebuah aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi bernama Pedoman Prilaku Hakim (PPH) baru tanggal 30 Mei 2006 yang lalu PPH itu terbentuk, dan diakui oleh Ketua MA, Bagir Manan sebagai kode etik perilaku hakim.

Minimnya Kesejahteraan Hakim

Kalau diperhatikan konsideran menimbang sebagai landasan sosiologis yang melatarbelakangi lahirnya PPH ini, pada salah satu bagiannya mencoba memberikan justifikasi dengan berlindung dibalik alasan kesejahteraan hakim yang ”minim ”. Seharusnya hal tersebut tidak dijadikan toleransi bagi para hakim untuk menerima hadiah walaupun tergolong ”kecil”.
Masalah kesejahteraan hakim merupakan wacana yang telah lama dimunculkan oleh kalangan peradilan, namun tidak ada tindak lanjut dari penyelesaiannya, hingga munculnya PPH yang melegalkan hadiah. Alasan minimnya kesejahteraan hakim kembali mengemuka dan menjadi perhatian berbagai kalangan termasuk para pengambil kebijakan. Menjadi logis apabila ada sebagian orang berkesimpulan bahwa PPH sengaja dikeluarkan agar ada perhatian dan kemauan politik dari pengambil kebijakan untuk kembali meningkatkan kesejahteraan/gaji bagi para hakim.

Berapa sih gaji hakim ? pertanyaan itu akan muncul dibenak kita, ketika topik kesejahteraan masih dipersoalkan oleh para hakim. Jika kesejahteraan bertolak ukur pada kecukupan materi atau pada perbandingan jumlah suap yang akan ”menggoda” hakim dalam menjalankan tugasnya, maka sebesar apapun gaji yang diterima tidak akan pernah cukup dan membuat hakim sejahtera. Cukup atau tidak cukupnya gaji hakim akan berkorelasi dengan tingkat kepuasan, padahal manusia tidak akan pernah merasa puas-puasnya. Semakin banyak pendapatan maka akan semakin banyak kebutuhan. Oleh karena itu kalau yang dijadikan parameter adalah kebutuhan maka kita akan dapat mengukur tingkat kecukupan pendapatan hakim secara matematis, ambil contoh penghitungan besarnya Upah Minimum Regional yang berlandaskan pada tingkat kebutuhan bukan pada tingkat kepuasan, sehingga tidak wajar jika kesejahteraan masih menjadi persoalan.

Kecendrungan Perlakuan
Pedoman setebal 32 halaman memuat 10 Point, mesti dinilai beberapa kalangan telah mengacu pada Bangalore Principles of Judicial Conduct yakni prinsip-prinsip yang disusun oleh para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim.

Mengenai ketentuan penerimaan hadiah konvensi internasional tersebut melarang hakim menerima hadiah dalam bentuk apapun, akan tetapi, ini berbeda dengan PPH yang ada di Indonesia karena adanya pengecualian, terutama mengenai muatan toleransi bagi para hakim dalam menerima imbalan atau hadiah pada salah satu bagiannya menyebutkan larangan bagi hakim dan sanak kerabatnya menerima hadiah jika hadiah itu diberikan dengan tujuan mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilan, kecuali jika hadiah diberikan pada pada kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun dan sebagainya. Hadiah ditentukan dalam jumlah yang wajar.

Selain itu toleransi juga diberikan terhadap pemberian atau kenang-kenangan dari pemerintah daerah, Apabila seorang hakim karena suatu hal tetap menerima fasilitas dari Pemda, maka ia tidak boleh mengadili perkara di mana pemda atau pihak-pihak yang terkait dengan pemda berperkara di pengadilan.

Mencermati muatan ketentuan tersebut, terlihat ada semangat untuk ”memanusiakan” hakim, dalam artian hakim selain jabatan atau profesi juga masyarakat biasa yang sewajarnya juga mendapat pemberian-pemberian sebagaimana kultur sosial yang ada. Akan tetapi jika hal tersebut telah dirumuskan dalam sebuah Kode Etik, maka yang melekat adalah profesi atau jabatan sehingga kewajaran tidak hanya dilihat dari sudut pandang manusiawi semata namun pertimbangan implikasi yuridis dan sosiologis mesti jadi perhatian.

Jika dilihat realitas di lapangan maka yang ada, justru munculnya kecendrungan perlakuan istimewa untuk orang atau jabatan tertentu. Misalnya dalam pemberian hadiah untuk orang biasa akan berbeda penentuan besar nilainya untuk orang ”luar biasa”. Sehingga mestipun sekotak kue, sehelai kain batik yang diberikan dari segi bentuk memang sama akan tetapi berbeda dari segi nilai materilnya. Apalagi jika itu diberikan untuk orang yang memegang peran maha penting seperti hakim. Oleh karena itu dengan membuka peluang, akan sangat memupuk kecendrungan perlakuan istimewa untuk melancarkan keinginan tertentu dari pihak-pihak yang mempunyai motif tertentu pula.

Implikasi yang ditimbulkan
Pada prinsipnya perlakuan hakim memang perlu diatur secara khusus, namun pengecualian yang menunjukkan Privilage (keistimewaan khusus) bagi hakim itu perlu ditiadakan, apabila tidak maka pencantuman pengecualian tersebut akan menimbulkan banyak ekses diantaranya, dengan menerima pemberian walaupun kecil berarti telah memupuk sebuah prilaku koruptif menjadi kebiasaan yang akhirnya membudaya, apalagi jika dikaitkan dengan semangat penegakan hukum dan peningkatan citra peradilan, tentunya dengan pemberian hadiah untuk para hakim secara langsung ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap independensi hakim dalam penyelesaian suatu perkara diperadilan sehingga cita–cita untuk mewujudkan equality before the law (persamaan di depan hukum) menjadi asa yang tak pasti.

Selain itu dengan mentolerir pemberian hadiah, seakan-akan menafikan bahwa tanpa hadiah sekalipun, kalau mentalitas hakim telah dipengaruhi maka akan berpengaruh pada prilakunya dalam arti, misalnya cukup dengan jasa baik atau balas budi maka hakim akan terpengaruh apalagi jika itu telah disertai oleh pemberian berwujud materil.
Seharusnya Dilarang.
Persoalan pemberian hadiah harusnya dilarang tanpa pengecualian apapun. Para hakim harus mempunyai komitmen bersama untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan tempat mengadunya para pihak-pihak yang rasa keadilannya “terpasung”.

Untuk itu karena persoalan pemberian yang dilegalkan, maka solusi terbaik nya dengan melakukan revisi terhadap aturan tersebut. Selain itu perlu adanya kemauan semua pihak, baik itu masyarakat dalam bentuk tidak membiasakan untuk memberi dan gencar melakukan pengawasan terhadap institusi peradilan. Para wakil rakyat perlu mendesak untuk melakukan revisi PPH, serta mengkaji ulang proses recruitmen hakim. Peningkatan integritas dan kepribadian hakim perlu menjadi perhatian, termasuk menjadi tanggung jawab keluarga dan pimpinan-pimpinan peradilan. Sehingga dengan kemauan semua pihak diharapkan peradilan akan mampu mengayomi dan memberi putusan yang adil ***


Selengkapnya...