Thursday, September 18, 2008

Reformasi Birokrasi Vs Arogansi Birokrasi


" Kalo saya melapor, nanti saya sendiri yang dipersulit"

Demikian ungkapan sebagian orang yang tidak ingin dipersulit dalam pelayanan publik. Kerap kali kita menemukan pilihan ; lebih baik diam dari pada memperpanjang urusan. Sehingga tak sedikit mereka mengeluarkan uang lebih dari pada memilih untuk mempertahankan idealismenya bahkan tekanan perasaan barangkalipun juga mesti dipendam.

Miris memang menemukan realitas persepsi tersebut di tengah kondisi negara yang katanya menuju negara demokratis. Ketika semangat reformasi memuncak tahun 1998 birokrasi tak luput dari desakan untuk ikut direformasi. Karena memang tidak dapat dipungkiri justru pada tubuh birokrasi berbajukan aparatur negara justru penyimpangan begitu mudah untuk dilakukan.

Realitas yang kontradiksi dengan harapan besar masyarakat perlu menjadi perhatian segenap pihak. Satu sisi tidak hanya mendesak tubuh birokrasi direformasi namun mental pejabat harus pula mendapat porsi yang lebih lebih. tak terkecuali mentalitas masyarakat juga turut dikembangkan untuk mendorong upaya reformasi.




Ketidakberanian melapor ketakutan masyarakat menghadapi resiko perlu diminimalisir. Sehingga ketika semangat reformasi birokrasi berhadapan dengan arogansi birokrasi, maka akan dikalahkan oleh hati nurani dan inspirasi serta semangant menghargai dan tertunya hal itu lahir dari bersinerginya kedua belah pihak yaitu masyarakat dan apartur negara sendiri.

Arogansi birokrasi terkadang diekspresikan tidak hanya dalam bentuk tidak melayani, menunda pelayanan, melayani dengan wajah tak bersahabat, bahkan ada yang lebih parah lagi ketika dikompen dan dilaporkan justru melaporkan balik dengan delik pencemaran nama baik. Parahnya terkadang justru penegak hukum sebut saja Kepolisian justru lebih memprioritaskan penanganan laporan delik pencemaran nama baik dari pada delik utama yang dilaporkan sebelumnya oleh dua pihak yang berlawanan.

Reformasi birokrasi meski didukung oleh mentalitas aparatur dan masyarakat, payung hukum yang menjamin supremasi hukum dan terciptanya good governance serta yang tak kalah pentingnya adalah adanya lembaga yang konsern terhadap pengawasan birokrasi itu sendiri baik internal dan eksternal.

Pengawasan aparatur pemerintahan, yang merupakan salah satu tugas pengawas ekternal yang selama ini dikenal dengan Komisi Ombudsman Nasional diharapkan akan semakin "bergigi" dan "bertaring" seiring dengan disahkannya UU Ombudsman Republik Indonesia oleh sidang paripurna DPR RI tertanggal 9 September 2008, sehingga ke depan diharapkan birokrasi kita adalah birokrasi yang benar-benar reformis.***.