Monday, August 6, 2007

Harmonisasi Hubungan Departemen Luar Negeri dan Lembaga Legislatif


Tidak ada negara yang dapat hidup sendiri (no state can live a life to itself alone), negara adalah anggota dari masyarakat negara – negara (a community of state) dan setiap negara terlibat dalam pola/hubungan internasional ( a network of international relationship)

(Harold J.Laski ;The State in Theory and practice; London 1934)

Pendahuluan

Keterasingan dalam komunitas internasional bukan menjadi pilihan politik negara – negara di dunia, karena eksistensi suatu negara akan tercipta melalui pengakuan terhadap suatu negara (recognition of state), tentunya pengakuan lahir melalui proses asimilasi politik yang berujung pada terciptanya hubungan kerja sama antar negara.

Mutlaknya hubungan antar negara dalam pergaulan dunia, akibat dari globalisasi dan kaburnya batas antar negara yang dikenal dengan bordeless state atau dengan kata lain, ditembusnya tapal batas antar negara sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan informasi yang menjadikan transparannya sisi – sisi internal suatu negara.

Hubungan antara negara dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan unit politik yang didefinisikan menurut teritorial, populasi dan otonomi pemerintah secara efektif mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan homogenitas etnis, negara menyediakan suatu dasar yurisdiksi politik dan hukum dalam bentuk kewarganegaraan [1].Sedangkan politik adalah suatu aspek dari lembaga manusia yang sangat aneka ragam [2].

Dalam konteks nasional, politik luar negeri diartikan sebagai kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam hubungan dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Di tataran aplikasi politik luar negeri secara riel dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pelaksana teknis dibebankan kepada Departemen Luar Negeri. Sama halnya dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang memberikan tanggung jawab untuk melaksanakan politik luar negerinya kepada Departemen Luar Negeri dan Dinas – dinas luar negeri.

Departemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya instrumen lembaga kekuasaan lainnya. Berangkat dari teori trias politikanya Montesqieu yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Khusus untuk Indonesia dalam penerapannya tidak murni melakukan pemisahan kekuasaan, akan tetapi menerapkan trias politika dengan prinsip (division of power) dalam artian hubungan antar kekuasaan negara tersebut tidak secara murni terpisah satu sama lain, namun pemisahan yang tetap memungkinkan korelasi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.

Strategis Peranan

Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan nasional dalam perdamain, politik, ekonomi, kebudayaan, hankam dan sebagainya sebagaimana termaktub pada konstitusi negara. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri pada Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1966 yang menyatakan “ bahwa dalam bidang hubungan luar negeri Pemerintah Indonesia akan terus menjalankan politik non alignment yang tradisonal; salah satu politik bebas aktif dan politik non alignment bertujuan mengurangi ketegangan regional dan dunia (untuk mendirikan perdamaian)” [3].

Besarnya tujuan yang ingin dicapai dari politik luar negeri, semakin menunjukkan beratnya tanggung jawab Pemerintah dalam hal ini Departemen Luar Negeri, karena citra Indonesia dimata internasional akan dapat diukur dari sejauhmana Departemen Luar Negeri dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang dihargai dan dihormati kedaulatannya oleh bangsa –bangsa lain di Dunia. Atau sejauhmana diplomasi total Deplu yang didukung oleh stakeholder baik itu dalam negeri maupun luar negeri terwujud dengan baik.

Pellibatan stakeholder sangat mendorong lahirnya kebijakan dalam negeri yang diharapkan selaras dengan kebijakan luar negeri. Pentingnya keselarasan tersebut sesuai dengan pidatonya Bung Hatta tanggal 15 Desember 1945 yang menyatakan “politik luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negeri ”.

Kebijakan dalam negeri dan luar negeri pembahasannya tidak dapat terlepas dari kajian lembaga yang berwenang mengeluarnya kebijakan. J. Goodnow menyebutkan fungsi politik sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan pembuatan kebijaksanaan atau perumusan pernyataan keinginan negara [4]. Khususnya lembaga pengambil kebijakan yakni Depertemen luar negeri sebagai bagian dari pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang menjadi representasi dari rakyat selaku pemegang kedaulatan negara.

Fungsi Departemen Luar Negeri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 salah satunya adalah untuk perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang politik dan hubungan luar negeri. Sedangkan legislatif sendiri diberi kewenangan untuk bersama – sama dengan Presiden membentuk Undang – undang dibekali dengan hak untuk meminta keterangan presiden, mengadakan penyelidikan yang diatur lebih jauh pada UU No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Perumusan kebijakan yang diemban legislatif berbeda dengan perumusan kebijakan yang diemban oleh eksekutif. Kebijakan lembaga legislatif terkait dengan regulasi dalam bentuk Undang - undang, sedangkan Departemen Luar Negeri kebijakan yang dikeluarkannya adalah kebijakan yang terkait dengan program atau kebijakan Pemerintah.

Upaya Harmonisasi Hubungan

Pembangunan politik luar negeri Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, jika segenap elemen – elemen terkait tidak bekerja sama untuk saling mendukung pembangunan. Jika hal itu terjadi tidak hanya akan berdampak pada terhambatnya pembangunan politik luar negeri, namun juga akan berakibat penurunan citra bangsa Indonesia dimata dunia, akhinya dapat berujung pada “pelecehan” dari negara lain terhadap kedaulatan Indonesia dalam bentuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang dikuras kekayaannya guna mendukung pasokan ketersediaan bahan baku bagi negara lain, maupun dengan menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk tujuan ekonomi, atau barangkali menempatkan Indonesia menjadi negara “penyumbang suara” di level Internasional. Naif sekali kalau Indonesia tidak memiliki bargaining position dimata Internasional.

Keberanian dan keyakinan politik perlu menjadi semangat segenap elemen bangsa sehingga suasana demokrasi tidak justru menjadikan rusaknya tataran sosial masyarakat dan lunturnya kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan institusi, contoh kasus masih segar diingatan kita, ketika menghangatnya suhu politik dalam negeri yang diwarnai penentangan dari sejumlah kalangan maupun dari partai – partai di lembaga legislatif terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang memberikan persetujuan terhadap Resolusi PBB 1747 intinya meminta Iran menghentikan proyek uraniumnya.

Berkaca dari hal tersebut, maka agar Indonesia “punya gigi” dimata Internasional, maka pilihan kebijakan politik luar negeri, strategi dalam melaksanakan kebijakan, flexibelitas kebijakan atau kebijakan yang bersifat responsif terhadap pesatnya perubahan peta politik Internasional perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Semua itu akan dapat dijewantahkan dalam bentuk kebijakan jika kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang lahir dari peran serta segenap stakeholder negara.

Legislatif sebagai representasi rakyat juga dituntut menjadi lembaga yang memiliki kemampuan adaptif dan analisis yang kuat terhadap kebijakan Pemerintah termasuk terhadap kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan yang diemban legislatif. Kongkritnya kemampuan analisis dan respon terhadap persoalan internasional menjadi salah satu prasayarat yang mendorong lahirnya kebijakan nasional berkualitas.

Dalam hal menentukan sikap Indonesia dalam hal ratifikasi sejumlah konvensi Internasional, menjadi sesuatu yang perlu kajian menyeluruh dari lembaga legislatif dan tentunya Pemerintah (Deplu) memegang peranan besar untuk mensuport dan memasok informasi dan program yang mampu meyakinkan legislatif terhadap perlunya atau tidaknya negara Indonesia meratifikasi dan mengeluarkan peraturan perundang - undangan nasional.

Kebijakan politik luar negeri tidak hanya kebijakan yang diharapkan didukung oleh masyarakat, namun keterlibatan masyarakat diharapkan akan dapat melahirkan dan mendukung kebijakan yang berkualitas. Kebijakan yang berkualitas serta mendapat dukungan masyarakat akan lahir melalui upaya harmonisasi hubungan antara departemen luar negeri dengan legislatif. Hal itu dapat dilakukan melalui upaya : Pertama Peningkatan kualitas sumber daya manusia (Deplu maupun legislatif), hal tersebut diperlukan karena kebijakan yang berkualitas akan dapat dilahirkan dari sumber daya manusia yang berkualitas. Deplu melalui pertimbangan politis yang diajukan Deplu ke legislatif dan legislatif melalui keputusan atau pilihan kebijakan yang dihasilkan diharapkan sama- sama saling mendukung. Kedua Sistem manajemen Interaksi antara lembaga, menjadi sesuatu yang mesti mendapat porsi perhatian besar dari negara, karena ketimpangan dan ketidakselarasan kebijakan muncul disebabkan karena tidak adanya standar atau sistem manajemen interaksi antar pembuat kebijakan yang berujung pada mispersepsi. Ketiga Tanggap terhadap perubahan suhu politik internasional, hal tersebut diperlukan karena, jika kebijakan yang dirumuskan adalah kebijakan yang tidak flexible, maka akan berakibat tertinggalnya negara Indonesia dalam pergaulan dunia. Keempat peran aktif masyarakat memonitor kebijakan menjadi sesuatu yang tidak dapat dianggap sepele.

Penutup

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi pilihan politik yang memiliki tujuan besar dan harapan besar untuk kemajuan negara. Rentannya konflik antar negara dalam hubungan internasional menuntut Indonesia memperkuat kedaulatan dan meningkatkan citra negara dimata bangsa – bangsa di dunia, sehingga Indonesia mampu menjadi negara yang berperan aktif sebagai subjek dalam pergaulan internasional yang dihargai kedaulatannya oleh negara lain.

Oleh karenanya, pencitraan dan penghargaan akan terwujud melalui upaya kebijakan dan pilihan politk yang kuat dan berkualitas serta mendapat dukungan dari segenap stakeholder dalam negeri maupun luar negeri. Maka lembaga perumus kebijakan ataupun lembaga pengawas kebijakan (Deplu dan legislatif) dituntut untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara lembaga.

Harmonisasi hubungan dapat tercipta melalui upaya penguatan sumber daya manusia masing – masing lembaga, perbaikan sistem informasi interaksi antara lembaga, sehingga tidak berakibat munculnya mispresepsi kebijakan, tanggap terhadap suhu politik dalam dan luar negeri, peran aktif masyarakat dalam memonitor kebijakan negara. Dengan adanya harmonisasi hubungan tersebut, diharapkan Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan menjadi negara yang tidak dipandang sebelah mata oleh negara – negara dalam pergaulan internasional.***.
Daftar Pustaka

- ClouloumbisTheodore A. – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66

- Dahl, Robert A, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976

- G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56

- Islamy M.Irfan, Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3

- Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005

- UUD 1945 amandemen ke 4

- Undang - Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Catatan Kaki
* Penulis adalah Asisten pada Komisi Ombudsman Nasional
[1] Theodore A. Clouloumbis – James H. Wolfe , Pengantar Hubungan International Keadilan dan Power, Jakarta : Putra Bardin 1999, halaman 66
[2] Robert A Dahl, Modern Political Analiysis, edisi ke-3 Englewood Cliff, N.J Prentice – Hall 1976
[3] G. Lkartasapoetra & RG. Kartasaputra, Indonesia dalam Lingkaran Hukum Internasional (dari abad ke abad, Bandung : Sumur Bandung, 1984. hal 53 & 56
[4] M.Irfan Islamy , Prinsip Perumusan Kebijaksaan Negara , Jakarta, Bumi Aksara,1994, halaman 3

2 comments:

Seputar Law of Attraction said...

pilihan politik bebas aktif tujuan besar dan harapan besarnya apa ya mbak?

Anonymous said...

http://suhandono8.blogspot.com/